Showing posts with label kamu harus tau. Show all posts
Showing posts with label kamu harus tau. Show all posts

[info] sedikit mengenal diogenes - filsafat sinis gelandangan elit



Yo._. Jadi, sei filsuf paleng demenangde? Tiang Diogenes lengan Sinope, haha.

Jadi, Diogenes ini hidup sezaman dengan Aristoteles. Ia digambarkan sebagai orang yang keren, karismatik, sekaligus aneh dan penuh teka-teki. Ia menolak segala macam kerumitan, hidupnya sederhana, menghindari jebakan, tidak mau terlibat dalam tetek bengek aturan peradaban. Dan karena itu, keknya, alasan kenapa ia tidak mau terikat pada hal-hal ribet semacam mendokumentasikan karya tulis untuk pemikirannya.

Ajaran filsafatnya yang paling terkenal adalah tentang kebahagiaan yang hanya bisa didapat dari hidup sesuai dengan alam. Artinya, hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan yang sangat dasar untuk raga dengan peralatan sesederhana mungkin. Secara kasar dan radikal, ini kita sebut sebagai; hidup ngegembel:))

Prinsip ini doi terapkan dengan cara-cara yang gembel-able banget; memperoleh makanan dari mengemis, memakai pakaian compang-camping, dan melakukan hal-hal yang, dahlah, gabisa diterima akal sampai menggegerkan masyarakat. Salah satunya yang paling memorable sampai bisa diingat berabad-abad kemudian adalah melakukan (maaf, tida untuk ditiru) coli atau onani di tempat publik dengan tujuan untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa nafsu seks bisa dipenuhi dengan cara yang sangat sederhana.

Menurut doi pula, penguasaan diri dengan memenuhi kebutuhan diri secara sederhana akan mengarahkan pada kebahagiaan dan kebebasan. Hal ini dapat dicapai dengan terus melatih diri dalam menghadapi penderitaan. Yang lebih jauhnya, filsafat ini menuntut seseorang untuk meninggalkan kepemilikan, ikatan keluarga, dan nilai-nilai sosial untuk meminimalisir keinginan emosi dan psikologis ilusi keindahan duniawi. Bahkan, dalam perkembangannya, Diogenes juga gamau mengakui asalnya, tiap ditanya, mesti jawabnya, "Saya adalah penduduk dunia (cosmopolite)." Terus suka nyemilin serangga juga:((

Dan, nggak cukup dengan hanya menghindarkan diri dari keindahan duniawi bagi dirinya sendiri, seseorang juga harus menyerang masyarakat secara agresif untuk membantu menyadarkan orang lain. Serangan ini bukan serangan fisik, tetapi serangan dengan mencemooh perilaku masyarakat yang dianggap beradab secara umum.

Jadi, kalau ada orang yang tetap nyinyir padahal kamu udah baik, posthink aja, kali aja dia pengikut Diogenes 😳

Balik lagi, gaya hidup ngegembel yang disebut sebagai filsafat sinis ini (cynic, berasal dari kata 'kyon' yang berarti anjing, merujuk pada panggilan Diogenes), meskipun radikal, ide dasarnya mirip dengan ajaran Buddhisme dan Taoisme, sama-sama menghargai kesederhanaan dan hidup dengan alam. Termasuk radikal karena dalam praktiknya, hidup penganutnya bergantung pada masyarakat yang mereka serang (istilahnya, gatau malu, udah nyinyir, minta-minta lagi). Kelemahannya, pada nilai universal filsafat ini gabisa diterima, sebab jikalau iya, ekonomi dan peradaban bakalan hancur. Semua orang ngemis, semua orang gamau kerja, lah yang ngasih teh saha? Runyam.

Sebab itu, ini termasuk filsafat elit, yang hanya bisa diikuti oleh kelompok tertentu, ya itu, para gelandangan elit, gembel intelek. Elit kok gelandangan 😹

Singkatnya, filsafat sinis ini, seperti yang dijabarkan di atas, adalah filsafat yang secara tersirat menyatakan bahwa satu hal yang paling penting di dunia ini adalah penguasaan terhadap diri (kamu bisa sebut kemerdekaan atau kebebasan diri, ini adalah sesuatu yang tidak dapat dirampas, walaupun ada bencana atau penderitaan seberat apapun). Kasarnya, macam bilang, fucc the family, fucc other peoples, fucc everything. Kan.

Padahal, tengok-tengok, Diogenes ini nggak lahir dari keluarga yang miskin, bahkan punya privilage buat jadi holang kaya karena bapaknya, Hicesias adalah seorang bankir (arkeolog bahkan menemukan sejumlah koin berabad 4 SM yang mencantumkan nama Hicesias sebagai penanggung jawab). Ia lahir di Kota Sinope (masuk wilayah Turki modern) sekitar tahun 412 SM. Karena ada krismon krisis moneter, kutanya mama apa artinya (ebuset, malah nyanyi, awokwowkw), keluarga Diogenes mesti pindah ke Athena. Di sana, doi jadi murid Antisthenes, salah satu muridnya Pak Sokrates.

Terus, kenapa dia populer banget, ada banyak banget cerita-cerita yang wtf banget soal dirinya, banyak dijadiin meme. Here are some:

1. Doi sering banget terlihat membawa lampu siang-siang, pas ditanya kenapa, jawabnya mesti, "Sedang mencari orang jujur yang sulit ditemukan." Sampai dijadiin lukisan dong.

2. Doi ini pengen jadi orang yang paling sederhana di antara seluruh masyarakat Athena. Pas ngeliat ada anak gembala yang minum air kali pakai tangannya, tanpa wadah gitu, Diogenes ini gamau kalah, tanpa pikir panjang langsung mecahin satu-satunya mangkok yang dia punya. Sejak itu selalu minum pakai tangan. Duh.

3. Nah, ini paling terkenal banget, boong kalau bilang gatau. Di Akademi, Plato memberikan definisi manusia menurut Sokrates, bahwa manusia adalah makhluk hidup berkaki dua yang tidak berbulu. Besoknya Diogenes bawain ayam yang udah dibotakin, sambil teriak, "Perhatian, saya sedang membawakan kalian sebuah manusia!"

Menyadari kesalahannya, para pengajar menambahkan definisi Sokrates dengan menambahkan, "... dengan kuku datar yang lebar."

Tida ada yang cerita apakah dia kemudian bawa monyet yang dibotakin 😳

4. Kejadiannya di Korinthia, setelah melakukan orasi di depan sejumlah massa, doi beristirahat sambil berjemur matahari pagi. Diam-diam, Alexander the Great alias Iskandar Agung yang ikut memperhatikan ceramahnya datang mendekati Diogenes. Tertarik, Alexander bertanya, "Apakah yang bisa kuberikan untukmu, Diogenes?" Dan tanpa ada rasa bersalah, si doi unyu-unyu ini menjawab, "Berikan jalan bagi sinar matahariku."

Kamp, mungkin kata Akexander dalam hati, pas sadar dia berdiri memunggungi matahari. Sambil pergi, Alexander bergumam, "Jika aku tidak menjadi Alexander, aku ingin menjadi Diogenes."

Duh, Pak. Diogenes kalau nggak jadi Diogenes juga ngarepnya jadi Diogenes:((

Di lain hari, Alexander juga pernah nemu doi di antara tumpukan tulang belulang manusia. Alexander nanya dong, lagi ngapain? Dan dia jawab, "Aku sedang mencari tulang belulang moyangmu, tapi aku gagal membedakan tulang moyangmu dengan tulang para budak."

Deep:((

Udah, capek ngetik ulang.

Oh iya, gimana matinya? Gatau. Tapi, pas ditanya minta dikubur dimana pas mati, doi jawab agar tubuhnya dibuang aja ke luar tembok benteng kota sehingga binatang liar bisa makan mayatnya. Orang-orang k-geat dong, terus nanya lagi, "Nggak takut tubuhmu hancur dicabik-cabik gitu?", jawab lagi dong doi, "Nggak lah! Asal jan lupa kasih tongkat biar aku bisa ngusir binatang buas itu."

Bingung lagi deh orang-orang, gimana caranya gunain tongkat saat kamu udah mati dan nggak sadar apa-apa? Dan doi jawab, dengan amat sangat keren, "Kalau saat itu aku sudah tidak sadar apa-apa, lalu apa yang harus aku takutkan?"

Kan.

Keren kali.

Kali ini beneran udah:((

Sumber: The Greatest Philosopher - Kumara Ari Yuana, Wikipedia, FB Group Ensiklopedia Bebas

[info] hadits qudsi tentang keikhlasan



Hadits tentang keikhlasan, penting sebagai muhasabah diri tentang niat sebelum melakukan tindakan karena niat ada dalam hati dan hanya diri sendiri dan Allah yang mengetahuinya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
” إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ، وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ، فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ”.

(رواه مسلم (وكذلك الترمذي والنسائي

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a, beliau berkata, Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya salah seorang yang pertama di hisab di hari kiamat adalah seorang laki – laki yang mati syahid (gugur dalam peperangan); kemudian disebutkan baginya semua kenikmatan – kenikmatan yang diberikan kepadanya, dan dia mebenarkannya. Kemudian Allah SWT bertanya kepadanya,
‘Apa yang kamu kerjakan dengan nikmat itu?‘,
lelaki itu menjawab, ‘Aku berperang untuk-Mu hingga aku syahid‘;
Allah menjawab, “Kamu berdusta, (akan tetapi sesungguhnya) engkau berperang agar orang menyebutmu pemberani, dan (orang – orang) telah menyebutkan demikian itu, kemudian diperintahkan (malaikat) agar dia diseret di atas wajahnya hingga sampai dineraka dan dilemparkan kedalamnya”.

Dan (selanjutnya adalah) seorang laki – laki yang mempelajari ilmu dan mengamalkannya serta dia membaca al-Quran, kemudian dia didatangkan, kemudian disebutkan nikmat – nikmat yang diberikan kepadanya dan dia membenarkannya. Kemudian Allah bertanya,
‘Apa yang kamu kerjakan dengan nikmat – nikmat itu?’
lelaki itu menjawab, ‘Aku mencari ilmu dan mengamalkannya/mengajarkannya, dan aku membaca al-Quran karena-Mu’.
Allah berfirman, “kamu berdusta, (akan tetapi) kamu mencari ilmu itu agar disebut sebagai ‘alim (orang yang berilmu), dan kamu membaca al-Quran agar orang menyebutmu qari’, dan kamu telah disebut demikian itu (alim & qari’)” kemudian diperintahkan (malaikat) kepadanya, agar dia diseret di atas wajahnya hingga sampai di neraka dan di masukkan kedalam neraka”

Dan (selanjutnya) seorang laki – laki yang diluaskan (rizkinya) oleh Allah. Dan dikaruniai berbagai harta kekayaan. Kemudian dia dihadapkan, dan disebutkan nikmat – nikmat yang diberikan kepadanya, dan dia membenarkannya. Kemudia Allah SWT berfirman,
“Apa yang kamu kerjakan dengan nikmat – nikmat itu?”,
lelaki itu menjawab, “Tidaklah aku meninggalkan jalan yang aku cintai selain aku menginfakkan hartaku untuk-Mu”; Allah SWT berfirman, “Kamu berdusta, tetapi kamu melakukan itu semua agar orang menyebutmu dermawan, dan kamu telah disebut demikian”. Kemudian diperankkan (malaikat) kepadanya, agar dia diseret di atas wajahnya, hingga sampai dineraka dan dimasukkan kedalam neraka.

Na'udzubillah, tsumma na'udzubillah.
Di mata manusia, ketiganya merupakan seorang yang taat beribadah dan diyakini akan menjadi penduduk surga. Namun hanya Allah yang mengetahui segala isi hati hamba-Nya.

“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alad dinika wa ‘ala tho’atika”.
“Wahai dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku atas agama-Mu dan atas ketaatan kepada-Mu”

Allah, bantu kami meluruskan niat kami..

Wallahu a'lam bi showab..

Sumber: 40 Hadits Qudsi, Google, Wordpress, Blogspot

[info] dua matahari dari tanah jawa


(Menggali Rekam Jejak Masa Belajar dan Perjuangan Dakwah Tokoh Pendiri NU dan Muhammadiyyah)


Nun di pinggiran kota Semarang terdengar sayup-sayup lantunan ayat suci, dan pengajian kitab di sebuah tempat yang cukup sederhana, meski bergelut dengan kesehajaan pesantren ini yang kemudian menjadi saksi 2 tokoh besar pembaharu islam di Nusantara, sosok yang kelak akan mendirikan 2 organisasi besar agama tauhid ini di tanah air, NU dan Muhammadiyyah inilah Pondok Pesantren yang diasuh oleh Ulama’ Kharismatik, beliaulah KH. Sholeh Darat.

Setiap hari Mbah Soleh mengajar para santrinya ilmu dasar keislaman seperti tasawuf dari kitab al-Hikam karya Ibnu Athaillah Al-Sakandari (yang kemudian beliau syarahi dan dalam bahasa jawa), dan Kitab al-Munjiyah (karya KH. Sholeh Darat); fiqih (Kitab Lataif Al-Taharah), serta beragam ilmu yang lain. Di pesantren ini, dua orang santri muda yang kelak akan turut berperan menumbuhkembangkan geliat Islam di Indonesia, juga sedang bergiat mengaji.

Keduanya sama mewarisi darah Raden Paku atau yang dikenal Sunan Giri seorang Wali Besar dari kota Pudak, Gresik.

Santri pertama berumur 16 tahun (lahir 1868 M), bernama Mohammad Darwisy. Ia dilahirkan dari kedua orangtua yang dikenal alim,  KH. Abu Bakar (Imam Khatib Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri H. Ibrahim, Hoofd Penghulu Yogyakarta). Kakeknya adalah KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadha bin Kyai Ilyas bin Demang Jurung Juru Kapindo bin Demang Jurung Juru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen) bin Sunan Dalem bin Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Maulana Ishaq bin Syekh Jumadil Kubro. (Dalam sumber lain dari buku karya Yunus Salam terbitan 1986 dikatakan bahwa Syekh Maulana Ishaq adalah putra Syekh Maulana Malik Ibrahim, salah satu Wali Songo yang dimakamkan di Desa Gapura, Gresik)

Sedangkan santri kedua berusia 15 tahun, Muhammad Hasyim. Ayahnya adalah kyai kenamaan, KH. Asy’ari (Pengasuh Pondok Pesantren Keras, Jombang Selatan) bin Abu Sarwan bin Abdul Wahid bin Abdul Halim bin Abdurrahman (Pangeran Sambu) bin Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin Abdurrahman (Jaka Tingkir) bin Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).

Dari garis ibu, Halimah, Muhammad Hasyim memiliki kakek bernama Kyai Usman (pimpinan Pesantren Gedang, Tambakrejo, Jombang). Buyutnya, Kiyai Abdussalam (Mbah Sechah), juga pendiri pondok pesantren Tambakberas pada tahun 1825.

Dalam versi di katakan, jika dirunut ke atas, Muhammad Hasyim adalah turunan ke delapan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang kemudian menjadi Raja Pajang setelah keruntuhan Kerajaan Demak.

Muhammad Hasyim, lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, pada Selasa 24 Dzulqo’dah 1287 H/14 Februari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahirannya sudah menampakkan keistimewaan isyarat yang menunjukkan kebesarannya kelak. Satu di antaranya, ketika dalam kandungan, Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh ke dalam kandungannya. Begitu pun ketika melahirkan, Nyai Halimah tidak merasakan sakit yang dialami kaum perempuan saat melahirkan.

Setelah sekitar sembilan tahun mukim dan belajar di Pesantren Kras sampai berusia 15 tahun), Muhammad Hasyim mulai melakukan pengembaraannya mencari ilmu ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, Siwalanpanji di Sidoarjo, Langitan di Tuban, kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Syaikhona Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhona Khalil Bangkalan).

Di Bangkalan inilah diperkirakan, Mohammad Darwisy bertemu pertama kali dengan Muhammad Hasyim. Dalam jangka waktu yang cukup lama mereka berteman dan belajar, maka setelah tuntas belajar pada Kyai Khalil, keduanya masing-masing dibekali kitab sebagai bekal mengaji lanjutan kepada kawan Kyai Kholil di Semarang, yakni Kyai Sholeh Darat.

Kala itu, Kyai Sholeh Darat adalah ulama terkemuka, ahli nahwu, ahli tafsir, dan ahli falak. Keluarga besar RA Kartini yang dikenal dengan pejuang emansipasi wanita di Indonesia juga mengaji pada beliau. Bahkan atas masukan Kartini lah, Kyai Sholeh Darat menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Jawa agar bisa dipahami banyak orang di tanah Jawa. (Selengkapnya bisa disimak di buku Kartini Nyantri karya Amirul Ulum).

Buku Habislah Gelap Terbitlah Terang yang dikarang oleh tokoh kelahiran Mayong Jepara disinyalir berasal dari tafsir tersebut diambil dari potongan ayat  “Minaddzulamati ilan nuur” Dari kegelapan menuju cahaya .

Selama nyantri di bawah naungan Kyai Sholeh Darat yang dimakamkan di pemakaman umum Bergota, Kota Semarang (dalam sumber lain di dekat masjid desa darat) sepanjang dua tahun penuh, Mohammad Darwis memanggil Hasyim—teman sekamarnya, dengan sebutan Adi Hasyim. Sementara Muhammad Hasyim menyapa Mohammad Darwis dengan sebutan Mas Darwis.

Ketekunan dua santri yang cerdas ini kemudian berbuah pengutusan mereka oleh sang kyai untuk melanjutkan studi ke Tanah Suci, Makkah. Sebelum berangkat ka jazirah Arabia, Mohammad Darwis sempat melanjutkan pelajarannya belajar ilmu fiqih pada KH. Muhammad Shaleh, belajar ilmu nahwu pada KH. Muhsin dan KH. Abdul Hamid.

Sementara itu, keahliannya dalam ilmu falak diperoleh dari berguru pada KH. R. Dahlan Abdullah, salah seorang putra Kyai Termas, Arjosari, Pacitan. Sedangkan ilmu Hadis yang dikuasainya diperoleh dari KH. Mahfud Abdullah, (terkenal dengan Syekh Mahfudz Termas, ulama besar dari Pacitan Jawa Timur), Syaikh Khayat, dan KH. Muhammad Nur.

Seperti juga Darwisy, pemuda Hasyim terpikat untuk lebih lama memperdalam ilmu dengan belajar di Pesantren Al-Hamdaniyyah, pesantren yang didirikan oleh KH. Hamdani pada tahun 1878 di Siwalan Panji, Buduran, Sidoarjo, yang saat itu dipimpin oleh putra beliau, Kiyai Ya'kub. (Penjelasan terkait Pesantren ini bisa disimak di :
https://web.facebook.com/Bakka.dalleku/posts/1387644634602500)

Di sana, berkat kecerdasannya, Hasyim segera menjadi santri menonjol. Perilaku dan tekadnya, mencuri hati pimpinan pesantren. Bahkan belakangan, sesuai tradisi lingkungan pesantren, Kiyai Ya'kub pun mengangkat Hasyim sebagai menantu. Ia dinikahkan dengan Khadijah, pada usia 21 tahun (1308 H). Setelah pernikahan, Hasjim bersama istri dan mertuanya, ia menunaikan ibadah haji. Tetapi sayang, saat di tanah suci, istri beliau tersebut meninggal saat hamil tua.

Setiba di Makkah pada 1883, Hasyim bertemu Darwisy. Mereka pun segera menjadi murid kesayangan Imam Masjid al-Haram, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Nawawi al-Bantani (seorang ulama besar dari Tanara, Banten yang kelak menggantikan jabatan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi), dan Syaikh Mahfudz at-Tarmisi.

Selain tiga nama tokoh kawakan itu, masih ada lagi Kyai Mas Abdullah (Surabaya) dan Kyai Faqih dari Maskumambang. Memang saat itu banyak ulama Indonesia yang mengajar di Tanah Haram sebelum kemudian dilarang oleh pemerintah kerajaan Arab Saudi. Dan inilah penyebab kebangkitan umat islam menurut orientalis Belanda, Snouck Hourgenje yang mengatakan bahwa munculnya ruh jihad umat islam dalam melawan penjajahan Belanda berawal dari semangat pemuda Indonesia yang belajar dan mengajar di Tanah Haram.

Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu yang berdarah Nusantara dalam praktik ibadah, seperti; tasawuf, wirid, tahlil, membaca barzanji (diba’) telah menjadi bagian dari kehidupan mereka yang diamalkan di sana. Tentu saja, itu pula yang diajarkan pada para santri  seperti Mohammad Darwisy, Muhammad Hasyim, Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadiri al-Mandaili (beliau berasal dari  Mandailing Natal Sumatera Utara), dan lain-lain.

Dari sini tampaklah kecenderungan Muhammad Hasyim yang sangat mencintai Hadis, sementara Mohammad Darwisy lebih tertarik bahasan pemikiran dan gerakan Islam yang dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh, pembaharu islam dari Universitas Al-Azhar, Mesir.

Di antara guru-guru Hasyim yakni, Syaikh Mahfudz lah yang sangat menyayanginya. Hasyim memperdalam ilmu Hadis dari Syaikh Mahfudz yang dikenal sebagai isnad (perantai) dalam pengajaran kitab Sahih al-Bukhari. Bahkan, ia pun mendapatkan ijazah dari sang guru atas penguasaannya pada kitab Shahih al-Bukhari.

Syaikh Mahfudz merupakan generasi terakhir dari 23 generasi ulama 'Shahih al-Bukhari' yang mendapatkan ijazah langsung dari Imam Bukhari. Hasyim kemudian memperoleh ijazah itu dari Syaikh Mahfudz, pertanda besarnya penghargaan sang guru pada muridnya.

Hasyim memang laiknya musafir di sisi Baitullah. Malam-malamnya, diisi dengan menyimak pengajaran dari sang guru. Bersama santri dari pelbagai negeri mancanegara, ia duduk di dalam lingkaran disiram cahaya fanus (pelita). Di tengah lingkaran, sang guru dengan jubah kebesarannya, memberikan wejangan dan pengajaran.

Di saat senggang, ia terisak di sisi makam Rasulullah SAW, maupun di tempat mustajab yang lain seraya memanjatkan doa pada Allah Swt agar dapat mudah dalam memperdalam Islam tuk kemudian mendakwahkannya. Saat hendak kembali ke Tanah Air, Hasyim bersama beberapa santri seperguruan di antaranya, Pangeran Syiria, mengikat ikrar dengan disaksikan Baitullah.

Doa dengan linangan air mata itu, kemudian dikabulkan Allah. Ikrar tersebut menyatukan mereka kelak menjadi pemuka agama di negeri masing-masing. Sekembali ke Tanah Air, ia pun bersungguh-sungguh mengajarkan ilmu yang diperolehnya di Tanah Suci.

Bahkan, kemudian ia memilih membuka pesantren di Tebuireng. Pilihan ini sempat menjadi bahan tertawaan. Sebab Tebuireng yang berada tak jauh dari Pabrik Gula Cukir) kala itu adalah muara maksiat. Sebagian penduduknya masih terbiasa dengan judi, zinah, bahkan merampok. Di pusat kekelaman itulah, Hasyim muda menyalakan pelita ilmu.

Pada usia 20 tahun (1888), Darwisy kembali ke Yogyakarta dan ia pun diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Dua tahun berselang pada usia 22 tahun, Darwisy menunaikan ibadah haji. Kesempatan menunaikan ibadah haji tersebut ia pergunakan sebaik-baiknya untuk belajar pada seorang guru bermazhab Syafi'i yang bernama Sayid Bakri Syatha (Pengarang Ia'natu Thalibin) di Makkah, selama kurang lebih dua tahun.

Tokoh inilah yang kelak mengganti namanya menjadi KH Ahmad Dahlan, terinspirasi dari nama mufti Syafiiyyah dari Kota Makkah, Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan.

Muhammad Hasyim pulang ke Jombang. Di sana, KH Imam Nur Zahid (Kakek Cak Nun “Emha Ainun Najib”), telah menantinya penuh rindu. Bersama lima kiyai lain dari Cirebon seperti KH. Abbas bin Abdul Jamil dari  Pesantren Buntet, kakek Cak Nun nan 'sakti' inilah yang menaklukkan kawasan rampok dan durjana bernama Tebuireng, untuk didirikan pesantren. Ia memohon pada Hasyim muda agar berkenan mengajar di situ. Maka dibukalah pengajian 'Shahih al-Bukhari' di Jombang.

Ada cerita menarik terkait kakek Cak Nun ini. Saat hendak dimakzulkan (diturunkan) dan diminta mundur dari jabatan presiden, Gus Dur biasanya menjawab, "Saya kok disuruh mundur, maju saja susah, harus dituntun!" Tapi berbeda halnya dengan Cak Nun yang mendatanginya ke Istana Negara. "Gus, kon wis wayahe munggah pangkat: Gus, kamu sudah saatnya naik jabatan!" Sebenarnya bukan perkataan Cak Nun semata yang membuat Gus Dur berkenan mundur. Ia ingat belaka jasa baik kakek Cak Nun dulu pada kakeknya sendiri, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari.

Kembali ke Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ariy. Sejak memulai pengajian Shahih al-Bukhari, beliaulah orang yang menjadikan pengajian Hadis dinilai penting dan terhormat. Sebelum Hadratusy Syaikh memulai Pondok Pesantren Tebuireng-nya dengan kajian Shahih al-Bukhari, umumnya saat itu banyak  pondok pesantren hanya mengajarkan tarekat saja.

Tak lama berselang, Ponpes Tebuireng pun kian maju. Para santri mulai berdatangan dari seantero Nusantara. Hubungan baik pun terjalin dengan Kyai Abdul Wahab Hasbullah, Tambakberas, putra Kyai Hasbullah. Tebuireng juga berhubungan baik dengan KH Bisyri Syansuri, Denanyar.

Kelak, KH. Abdul Wahid Hasyim, putra Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ariy, menikahi putri beliau Nyai Solichah yang di kemudian hari akan melahirkan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur). Sementara itu KH. Bisyri Syansuri juga beriparan dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah, karena Kyai Bisri yang asli Tayu Pati ini menikah dengan Nyai Khodijah Hasbullah, adik Mbah Wahab sekaligus Ibu dari Nyai Solichah Bisri). Inilah yang kelak menjadi segitiga pilar NU: Tambakberas - Tebuireng - Denanyar.

***

Pemimpin dengan Bakat Alamiah

Pada Usia 35 tahun, untuk kali kedua Kiyai Dahlan menunaikan ibadah haji bersama putranya, Siraj Dahlan yang masih berumur 13 tahun. Selama 1,5 tahun mereka bermukim di Makkah guna memperdalam ilmu fiqih pada Syaikh Saleh Bafadal, Syaikh Sa’id Yamani, dan Syaikh Sa’id Babusyel. Beliau juga belajar ilmu Hadis pada mufti mazhab Syafi’i, ilmu falaq pada Kiyai Asy’ari Bawean, ilmu qiraat (langgam bacaan al-Quran) pada Syaikh Ali Misri Makkah.

Kepulangannya yang kedua dari Makkah inilah yang kemudian menjadi tonggak Muhammadiyah berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 M. Sahabat santrinya dulu, yang telah dikenal sebagai Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ary mendirikan Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M.

Bakat memimpin kedua tokoh ini sejatinya telah muncul sedari mereka masih belia. Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, misalnya. Ia gemar melerai temannya yang bertengkar, dan merukunkan mereka kembali. Bahkan pernah kepalanya sampai berdarah terkena pukulan dari salah satu temannya yang sedang ribut itu. Tapi ia tidak marah dan tidak membalas. Karena sikapnya yang baik, kedua orang yang bertengkar itu pun akhirnya berhenti, dan merawat kepala Hasyim kecil.

Semasa masih remaja, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari juga pernah menggembala sapi dan kambing ketika nyantri pada Syaikouna Kholil Bangkalan. Ia yang merawat, membersihkan kandang dan mencari rumput bagi hewan gembalaan. Itu dilakukannya semata-mata karena patuh terhadap titah sang guru.

Bahkan pernah suatu hari, ia dengan senang hati membongkar septic tank dan mengaduk-aduk isinya hanya demi mencari cincin istri sang guru yang kecebur di kloset hingga cincin itu pun ia temukan. Bagi Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, patuh dan menghormati serta membahagiakan guru adalah segalanya. Dari situlah barokah (berkah) sang guru diharapkan bisa hinggap.

Pada kenyataannya, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari memang menjadi tokoh besar—bahkan “melampaui” gurunya dalam keilmuan hadist  . Bahkan dalam suatu riwayat, Syaikhona Kholil pernah mengaji ilmu hadist kepada Mbah Hasyim Asy’ari di jombang. Inilah sebuah bentuk penghormatan guru murid dan darisitulah banyak berdatangan kyai-kyai khususnya santrinya Syaikhona Kholil untuk berguru dengan Mbah Hasyim.

Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari juga mendalami ilmu kanuragan, pencak silat. Ini tak lepas dari kondisi sosial yang memang menuntutnya mempunyai keahlian bela diri. Ketika itu, Tebuireng–tempat tinggalnya yang baru—termasuk daerah yang berbahaya lantaran masyarakatnya banyak yang suka mabuk-mabukan, berandalan, penjudi, dan sebagainya.

Pernah beberapa kali, kediaman beliau disatroni penyamun. Itulah sebabnya beliau dan para santrinya belajar pencak silat, dengan mendatangkan guru ilmu kanuragan dari Cirebon yakni KH. Abbas bin Abdul Jamil yang kelak juga akan membantu Mbah Hasyim dalam pertempuran 10 Nopember). 

Lain lagi dengan Darwisy kecil yang gemar bermain petak umpet, gobag sodor, dan sepak bola. Ia tak pernah absen bermain bola bersama teman-temannya ketika menjelang sore. Biasanya, Darwisy dan teman-temannya bermain sepakbola seusai mengaji pada sore hari di bawah bimbingan Kiyai Kamaludiningrat di Masjid Gede Kauman.

Darwisy dan kawan-kawannya sering bermain bola tak jauh dari tempat mereka mengaji, yakni di alun-alun utara, atau sesekali di alun-alun selatan yang tak jauh dari rumahnya. Walaupun permainan yang berlangsung sering tidak berpihak pada timnya, tidak menjadikan jiwa dan raga Darwisy lesu. Ia tetap semangat walaupun telah dicederai pihak lawan. Bahkan ia tidak mendendam akibat permainan curang itu. Di sinilah etos kedisiplinan dan kejantanan dijunjung tinggi oleh Darwis.

Tak heran jika kelak Darwisy yang kemudian dikenal sebagai KH. Ahmad Dahlan berubah menjadi orang besar dan berkharisma dalam memimpin organisasi Muhammadiyah yang ia dirikan. Sejak kecil, beliau secara alamiah memang terlatih sebagai pemimpin yang dicintai. Saat memimpin, beliau menekankan strategi dan kerja sama yang dibangun bersama dalam tim.

Hingga kini, Muhammadiyah yang didirikan pada 1912 dikenal sebagai organisasi dengan kepemimpinan secara kolegial.

Kepemimpinan model ini tidak menonjolkan kharisma seseorang, melainkan dengan kerja sama dan mencari titik temu jika terjadi perbedaan di antara para pemimpin.

Berdasar karakter kepemimpinan tersebut, maka proses generasi pelanjut dapat berlangsung nyaris tanpa hambatan. Masyarakat pun akan lebih mengenal amal usaha Muhammadiyah, seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya, tinimbang nama pemimpinnya.

Langkah yang dipilih KH. Ahmad Dahlan demi mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamong praja (calon pejabat) yang belajar di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), Magelang, dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis, Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk meng¬ajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.

Langkah yang ditempuh Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ariy lain lagi. Beliau memilih mendidik santri Tebuireng dengan balutan semangat hisb al-wathon (cinta bangsa). Hal ini terbukti pada 1945.

Hadratusy Syaikh dan para ulama NU di Jawa Timur mengeluarkan resolusi jihad, yang mewajibkan umat Islam, terutama kalangan Nahdliyin, untuk mengangkat senjata melawan penjajahan Belanda dan sekutunya yang ingin berkuasa kembali di Indonesia.

Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad), yang berlaku bagi setiap Muslim yang tinggal radius 94 kilometer dari Tebuireng. Sedangkan mereka yang berada di luar radius tersebut, harus membantu dalam bentuk material bagi mereka yang berjuang. Selain itu Kyai Hasyim juga dikenal produktif dengan meneluarkan berbagai karya, salah satunya Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. (Kelak KH. Ishomuddom Hazdiq, cucu Mbah Hasyim akan mengumpulkan karya kakeknya yang diberi nama Irsyadur Sari).

KH. Ahmad Dahlan adalah seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya. Tersirat jelas pada sebuah nasihat dalam bahasa Arab yang ia tulis untuk dirinya sendiri:

            “Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab (perhitungan), surga, dan neraka. Dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat padamu, dan tinggalkanlah lainnya.
(Diterjemahkan oleh Jarnawi Hadikusumo)

Selain itu, kebiasaan KH. Ahmad Dahlan mengajar pendidikan agama dengan media biola terbilang fenomenal dan tidak lumrah bagi masyarakat Kauman—tempatnya tinggal—kala itu. Mereka bahkan menganggap apa yang diajarkan oleh Kiyai Dahlan adalah pelajaran orang kafir. Kendati demikian, Kiyai Dahlan terus menjalankan kebiasaan ini tanpa merasa takut atau gentar. Dalam banyak kesempatan ia malah terus bermain biola. Sesungguhnya, dengan biola, Kiyai Dahlan ingin mengajarkankan pada para santrinya bahwa hidup adalah keselarasan. Jika tidak selaras sesuai tuntunan agama, maka hidup akan berantakan. Seperti halnya biola, jika tidak dipetik dengan piawai, bunyi yang dihasilkan tidak beraturan.

Batas Senjang NU-Muhammadiyah

Irisan kisah perjuangan Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ariy dan Kiyai Dahlan di atas masih terus berlanjut hingga suatu hari seorang santri Hadratusy Syaikh melapor, ada gerakan yang ingin memurnikan agama & aktif beramal usaha dari Yogyakarta. Beliau pun tangkas menjawab, "O kuwi Mas Dahlan. Ayo padha disokong: Itu Mas Dahlan, ayo kita dukung sepenuhnya.”

Sebagai bentuk dukungan pada perjuangan KH. Ahmad Dahlan, Hadratusy Syaikh menulis kitab Al-Tambihat al-Wajibat Li man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat dimana dikisahkan mengisahkan pengalamannya. Tepatnya pada Senin 25 Rabi’ul Awwal 1355 H, Kyai Hasyim berjumpa dengan orang-orang yang merayakan Maulid Nabi saw. Mereka berkumpul membaca Al-Qur’an, dan sirah Nabi.

Akan tetapi, perayaan itu disertai aktivitas dan ritual-ritual yang tidak sesuai syari’at. Misalnya, ikhtilath (laki-laki dan perempuan bercampur dalam satu tempat tanpa hijab), menabuh alat-alat musik, tarian, tertawa-tawa, dan permainanan yang tidak bermanfaat.

Kenyataan ini membuat Kyai Hasyim geram. Kyai Hasyim pun melarang dan membubarkan ritual tersebut. Bagi Hadratusy Syaikh, peringatan itu banyak bid'ah dan mafsadatnya tetapi bukan dalam artian Mbah Hasyim melarang perayaan Maulid, hanya harus dilakukan dengan cara yang benar.  Keunikan lain dari sosok mulia ini adalah, beliau adalah adalah satu-satunya kiyai NU yang tidak diperingati haulnya (peringatan kematian).

Ketika akhirnya gesekan makin sering terjadi antara anggota Muhammadiyah vis a vis kalangan pesantren, Hadratusy Syaikh turun tangan dengan wejangannya yang meneduhkan, "Kita & Muhammadiyah sama. Kita taqlid qauli (mengambil pendapat ulama Salaf'), mereka taqlid manhaji (mengambil metode)."

Mendapat dukungan sedemikian rupa, KH. Ahmad Dahlan sang putra penghulu keraton itu amat bersyukur. Sebagai bentuk ucapan terimakasih, beliau lantas mengirim hadiah ke Tebuireng.

Hubungan kedua keluarga mereka pun kian akrab. Sampai generasi keempat, putra-putri Tebuireng yang kuliah di Yogyakarta pasti selalu indekos di kediaman keluarga KH. Ahmad Dahlan di Kauman—termasuk Gus Dur.

KH. Ahmad Dahlan juga terbiasa mengamalkan amalan-amalan yang dilakukan oleh kaum nahdliyyin. Misalnya membaca doa qunut ketika shalat Subuh, ikut yasinan, tahlilan, dan shalat tarawih 20 rakaat. Memang saat ini sebagian warga Muhammadiyah melaksanakan shalat tarawih 8 rakaat.

Tetapi tidak demikian dengan pendirinya, KH. Ahmad Dahlan. Beliau terbiasa melakukan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat dengan 10 salam. Kebiasaan KH. Ahmad Dahlan yang demikian itu tidak terlalu berlebihan. Pasalnya, bersama Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, ia belajar pada ulama-ulama yang bermadzhab Syafi’i, di Makkah.

Tak hanya itu, di dalam kitab fiqih Muhammadiyah yang ditulis oleh ulama yang semasa dengan KH. Ahmad Dahlan) disebutkan pada bab shalat bahwa shalat tarawih adalah shalat dengan 20 rakaat dan setiap 2 rakaat harus salam.

KH. Ahmad Dahan tetap menggunakan qunut, dan tidah pernah berpendapat bahwa qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah qunut nazilah (qunut yang merujuk pada doa dalam sholat di tempat yang khusus sewaktu berdiri). Sebab beliau sangat memahami ilmu Hadis dan fiqih. Pun begitu dengan tarawihnya. Landasannya adalah, penduduk Makkah sejak berabad lamanya, sejak masa Umar ibn al-Khattab, telah menjalankan tarawih 20 rakaat dengan tiga witir, hingga sekarang.

Jika dilihat dari pengertiannya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Hajar al-Asqallâniy dalam kitab Fath al-Bâriy Syarh al-Bukhâriy sebagai berikut:

“Shalat jamaah yang dilaksanakan pada setiap malam bulan Ramadhan dinamai tarawih karena para sahabat pertama kali melaksanakannya, beristirahat pada setiap dua kali salam.”

Jadi, baik KH. Ahmad Dahlan dan Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ary, tiada perbedaan dalam pelaksanaan ubudiyah (ibadah). (Hal ini pernah disampaikan oleh KH. Marzuki Musytamar, Rois Syuriyah PWNU Jawa Timur dalam suatu kesempatan).

Namun setelah berdirinya Majelis Tarjih di era kepemimpinan KH. Mas Mansyur (ketua keempat), terjadilah berbagai perubahan, termasuk keluarnya putusan tarjih yang meniadakan praktik doa qunut dalam shalat Shubuh dan jumlah shalat tarawih yang menjadi 11 rakaat.Dengan argumen bahwa  Muhammadiyah bukan Dahlaniyah.

Meski begitu, inilah perbedaan yang cukup sulit tuk disatukan karena semenjak Rasulullah SAW hidup ini perbedaan sudah mulai ada dan itu sudah merupakan fitrah.

Maka sebagai Warga NU dan Muhammadiyyah yang baik, marilah saling menghargai dan bertoleransi, karena perbedaan ini hanya dalam furuiyyah (cabang) bukan pada ranah akidah yang mana hal ini tak perlu terlalu diperdebatkan.

Dan marilah kita bersinergi untuk membangun persatuan umat untuk melangkah menuju masa depan yang lebih baik seraya bersiap diri tuk menghadapi musuh umat islam yang telah mengibarkan bendera perang di hadapan kita. Wassalam

Malang, 26 Januari 2016

Sumber: Muhammad Abid Muaffan, Santri Backpacker Nusantara, Dikutip dari catatan Ren Muhammad yang dimuat di Tabloid Matahariku, Edisi keempat, bulan Januari 2016 dengan berbagai tambahan dari berbagai literatur disertai observasi langsung di Jombang dan Jogjakarta, FB Group SINAU BARENG Anak Putune SIMBAH


[info] tasawwuf adalah adab dan kerendahan hati, bukan keangkuhan - habib umar



Terdapat golongan fanatik yang mengait-ngaitkan diri mereka dengan tasawwuf. Padahal, tasawwuf adalah sesuatu yang berkenaan dengan adab dan rendah hati, tetapi mereka menjadi angkuh karenanya. Jadi, sangat jelas itu bertentangan dengan tasawwuf.

Keangkuhan mereka, dakwaan-dakwaan mereka dan membataskan kebaikan itu hanya untuk mereka, sama sekali bertentangan dengan tasawwuf.

Ketika membicarakan hal yang berkaitan dengan tasawwuf, mereka berkata, “Kami yakin bahwa hanya guru kami yang benar di dunia ini. Guru kami adalah wali quthb sepanjang zaman, yang pertama dan yang terakhir.”

Jika memang benar guru kamu itu seorang wali qutub, apakah dia mengajarkan kamu agar membenci umat islam yang lain ?
apakah dia mengajarkanmu untuk berprasangka buruk kepada mu’min yang lain ?

Kalau dia mengajarkanmu hal yang seperti demikian, pasti dia bukan seorang wali qutub. Melainkan, seorang yang jelek sifatnya.
Dan kalau dia tidak mengajarkanmu hal yang seperti demikian itu, darimana engkau mendapatkan hal yang seperti itu ?
kami tidak pernah mendengar ada seorang Qutub yang mengajarkan hal-hal seperti itu.

Demi Allah, tidak pernah ada seorang Wali Qutub yang mengajarkan untuk menjelek-jelekkan orang lain. Tidak pernah ! sejak zaman Nabi sampai zaman sekarang.

Tidak mungkin bisa dibayangkan, kalau ada seorang Wali Qutub mengajarkan seseorang untuk menjelekkan orang lain.
Apakah mungkin dia (Wali Qutub ) mengajarkan seseorang untuk menjelekkan orang lain ?

“Cukuplah (memberatkan) bagi seorang muslim itu melakukan kejahatan menghina orang lain.” seperti yang ada dalam sebuah hadits. Hal yang seperti ini adalah sesuatu hal yang berlebih-lebihan.

Memanglah benar, bahwa mereka yang mengikuti jalan ( Tasawwuf ) ini harus menyanjung guru-guru yang membimbing mereka. Bahkan, ada yang sampai menganggap bahwa guru mereka adalah yang paling mulia diantara makhluk Allah yang lain. Hal seperti ini tidaklah jadi soal, tetapi untuk memaksa semua orang islam untuk mempercayai kepercayaan mereka. Hal seperti ini yang tidak boleh dilakukan.

Apabila kamu menempuh jalan suluk seperi ini, lanjutkanlah dan perdalam pemahamanmu tentang kehebatan gurumu, sejauhmana kamu mau. Tetapi, jangan sampai melampaui batas. Dan jangan paksakan orang lain untuk mengikuti pemahamanmu.

Bahkan, seharusnya kamu gembira apabila melihat orang lain memiliki pemahaman yang baik terhadap guru mereka, sebagaimana pemahamanmu terhadap gurumu. Karena guru-guru adalah pintu-pintu untuk sampai kepada Allah.

Dan jika berkata tidak ada guru selain gurumu saja, maka saya tidak tahu siapa yang mengambil segala kebaikan dan meletakkan kebaikan pada gurumu saja, dan siapa yang mengatur kekuasaan Allah ? bukanlah seperti itu.

Pernah suatu ketika seorang ahli ibadah dari kalangan bani israil yang sangat membenci bila ada seorang yang jelek perangai dan sifatnya berjalan disebelahnya.

Berkata dia pada orang itu, “ kenapa kamu mendekatiku ? kamu itu seorang yang buruk.“ maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi mereka :

“Biarkan mereka mula dari awal, telah aku hapuskan segala amal-amal si ahli ibadah dan telah ku ampuni segala dosa-dosa si pendosa itu, maka keduanya sekarang serupa. Kabarkan kepada mereka bahwa mereka kembali ke awal.”

Kisah kedua, ada seorang ahli ibadah yang menasehati sahabatnya,

“Berhentilah mengikuti jalan yang sesat ini!” “Berhentilah melakukan kemaksiatan!”

ajakan ahli ibadah tersebut tak digubris dan tidak berhasil. Kemudian, datang temannya tadi menginjak leher ahli ibadah tersebut ketika dia sedang sujud. Lantas si ahli ibadah tersebut berucap,

“ Angkat kakimu dari leherku, aku bersumpah Allah pasti tidak akan mengampuni dosamu.”

Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi mereka,

“Siapa orang ini ? hingga ia berani membatasi pengampunan-Ku ? apakah aku memberikan kuasa kepada dia ? hanya karena aku izinkan dia beramal dengan rahmat-Ku, dia berani menganggap dirinya layak membatasi kekuasanku ? siapa orang angkuh ini ? Beritahukan kepadanya bahwa dialah yang tidak akan aku ampuni dosa-dosanya bukan orang yang satunya.”

Allah adalah Raja, kerajaan (Langit dan bumi) milik Allah. Dan segala perintah adalah perintah Allah. Dan walaupun mungkin kamu adalah seorang yang sholeh bahkan wali sekalipun, hendaklah kamu beradab dan merendahkan dirimu dihadapan keagungan Allah.

Apabila kamu adalah seorang yang lurus, ketahuilah bahwa Allah akan membela hambanya yang benar dan dengan jalan yang tak disangka-sangka. Tetapi, seorang yang lurus tidak akan membanggakan diri sendiri ataupun merasa dirinya sendiri lebih mulia dari hamba-hamba Allah lainnya.

Mereka tidak akan sekalipun ingkar kepada Allah dengan segala karunia kebaikan, cahaya dan barokah yang telah diberikan kepada mereka.

Sumber: Artikel Bebas, Facebook Nahdlatul Ulama

[info] hijab yang menutupi diri dan alam ghaib



"usahamu untuk menyingkap keajaiban yang tersembunyi dalam dirimu adalah lebih baik daripada usahamu agar terbuka bagimu tirai keghaiban"
- Sheikh Ibn Athaillah As Sakandari, Kitab Hikam

Sudah menjadi kebiasaan untuk sebahagian ahli tarekat biasanya akan mengarahkan tujuan amal ibadat dan dzikir mereka bagi tujuan menyingkap tabir ghaib dan akhirnya tujuan amal sudah terarah kepada mendapatkan maqamat dan bukan lagi Allah swt menjadi tujuan.

Beberapa jenis zikir diamalkan untuk memecahkan hijab-hijab keghaiban tertentu dan kalau ada tujuan lain selain Allah swt maka zikir-zikir secara demikian tidak akan menyampaikan seseorang hamba kepada Tuhannya.

Kalau tujuan maqamat menyingkap keghaiban yang dicari maka setelah mereka banyak berzikir namun, hati mereka masih berasa jauh daripada Allah swt, maka mereka mula berasa berputus-asa dan bosan dan timbullah keraguan di dalam hatinya. Keadaan yang demikian terjadi kepada orang yang menjadikan zikir sebagai alat untuk memperolehi kedudukan bukannya kedekatan dengan Allah swt.

Banyak si salik yang merasa tidak memperolehi apa-apa dalam berdzikir setelah sekian tahun sedangkan dia telah diberi istiqamah berdzikir oleh Allah swt.

Dia menyangka bahawa dialah yang berdzikir kepada Allah saban hari dan tidakpun menyangka bahawa itu pemberian anugerah Allah swt yg tidak terhingga kepadanya walaupun hatinya masih terasa tawar tanpa rasa.

Apakah rasa yang dicari atau ingatan kepada Allah itu yang menjadi keutamaan?

Si salik sering tertipu dan keliru seolah kasyaf, keramat dan maqamat itu yang dikejar...

Ada pula orang yang menjadikan zikir sebagai alat untuk memperolehi kekeramatan sebagai tujuan. Di tengah jalan mereka mendapat jazbah khadam lalu dibawa ke alam khadam dan malakut. Terpesonalah mereka dengan berbagai-bagai makhluk halus yang mempamerkan berbagai-bagai keanehan sehingga lupalah mereka kepada Allah s.w.t yang menjadi maksud dan tujuan. .
Mereka akhirnya sibuk dengan khadam dan ilmu hikmah dan tertipu kerana mulai asyik dengan kemakhlukan dan keanehan.

Kalau ada tujuan selain Allah maka musibahlah bagi mereka dengan diberi khadam jin dan syaitan dan ini akan menjadi asbab hijab tebal dan terhalang kepada Allah swt.

Mereka tidak lagi berharap dan bergantung kepada Allah swt dan mulai sibuk meminta kepada khadam. Maka bertambah teballah dinding antara mereka dengan tauhid yang hakiki.

Kalam Hikmat ke-30 ini menarik orang yang baharu dalam perjalanan kepada Allah swt supaya menetapkan kaki atas landasan yang betul iaitu dengan memerhatikan kepada diri sendiri, memeriksa segala keaiban diri dan memperbetulkannya.

~ila hi anta Maqsudi wa Redho kamathlubi~

Sumber: Artikel Bebas Google, Instagram

[info] john titor - sang penjelajah waktu



Seseorang yang mengaku dari tahun 2036 datang ke tahun 2000 untuk memposting di forum internet, mengaku sebagai prajurit amerika di tahun 2036 mengemban misi ke tahun 1975 untuk mengambil komputer portable pertama di dunia yaitu IBM 5100, dan mampir di tahun 2000-2001 untuk melihat keluarganya. adapun pro dan kontra terhadap orang ini di forum menjadi topik hangat saat itu, karena dia dapat membuktikan hal-hal yang akan terjadi di masa dpn, dia juga mengupload foto mesin waktu nya, cara kerjanya, dan juga menyebarkan formula ilmiah mesin waktu tersebut di forum.

Beberapa orang di forum mulai memberondong John Titor dgn beragam pertanyaan, kesimpulan yang di dapat bahwa JOhn Titor adalah orang yg cerdas dan mempunya ilmu pengetahuan science yg mendalam, meski JOhn mengaku spesialisasi di History bukan di bidang komputer maupun science.

Siapa JOhn Titor ? Dia mengaku lahir tahun 1998 di florida, dia mengemban tugas dari tahun 2036 untuk ke tahun 1975 tuk mengambil PC IBM 5100, yg menurut dia dimana pc itu terdapat bahasa unix yg dpt memecahkan beragam bahasa unix. menurut dia teknologi di pc itu hanya seglintir org ibm saja yg tahu dan teknologi itu tidak pernah lagi di pasang di pc generasi selanjut nya hingga 2036.

Menurut dia semua sistem unix akan menghadapi time error di tahun 2036, oleh sebab itu IBM 5100 sangat penting.

Hal ini langsung di akui oleh pihak IBM , dan mereka kaget, karena hanya 5 org yg mengetahui hal itu, dan itu pun terjadi pada tahun 1975.

Konsep mesin waktu, John mengaku mesin waktu yg di pakai dia adalah C204 yg dpt memuat sampai 3 org mesin ini dimiliki oleh militer amerika di tahun 2036, dan mesin waktu bukan barang yg aneh di masa dia, ada lagi yg tipe lebih besar yaitu C206 yg di buat oleh GE (General Electric) dapat sampai 7 orang. Mesin ini hanya mampu membawa mereka maksium 60tahun ke masa silam dgn kecepatan 10tahun per jam.

Teori mesin waktu menurut John Titor,

1. Apapun yg saya lakukan dgn pergi ke masa silam tidak akan merubah masa depan saya, karena kita hidup di dimensi yg berbeda. Jadi menurut dia bahwa masa depan adalah keputusan. apa pun keputusan yg dibuat, di masa depan sudah ada jawaban nya.

2. Mesin waktu sangat berat bentuk nya panjang seperti box amunisi dengan beban mencapai 500kg, dia harus menaruh alat itu di dalam mobil dgn suspensi yg kuat, dan jika di nyalakan akan terbentu suatu black hole kecil yg mirip dgn donut. dan disaat itu lah semua akan terhisap kedalam black hole itu termasuk mobil nya menuju ketempat tujuan dalam proses perjalanan akan sangat panas, sulit untuk bernafas, dan jika tujuan anda nanti ternyata ada benda atau tembok yg menghalangi kehadiran anda di titik point yg sama maka otomatis mesin waktu akan switch off. jadi anda tidak pindah dari 1 titik ke titik yg lain, tapi anda pindah ke dimensi yg lain.

3. Hukum fisika Kuantum Everett-Wheeler adalah teori yg benar untuk mesin waktu, model ini juga bisa disebut “Many-Worlds Interpretation” atau dgn kata lain banyak hasil kemungkinan yang akan terjadi di masa depan berdasarkan keputusan saat ini, contoh nya, jika saya kembali ke tahun 1975 untuk membunuh kakek saya, lalu saya kembali ke 2036, saya akan tetap eksis, begitupun orang tua saya. tetapi di dimensi tahun 1975 dan masa depan nya saya dan orangtua saya tidak eksis. ini lah yg disebut many worlds interpretation.

PREDIKSI
John tidak pernah akan memberikan prediksi untuk menyangkut sport tips, atau untuk memperkaya diri
John tidak pernah akan memberikan prediksi kepada org untuk menghindari kematian, kecelakaan,tragedi.
John tidak akan pernah menunjuk/menyebutkan nama lengkap seseorang yg akan berpengaruh nantinya di masa depan.
Ok John dalam posting nya tidak pernah memberi prediksi secara langsung, hasil prediksi berikut merupakan rangkuman dariapa yg telah menjadi bahan diskusi John selama 5 bulan dari november 2000 – maret 2001.

1. John menyebutkan initial Tipler dan Kerr ,ilmuwan yang akan berpengaruh dgn mesin waktu. Nama kedua orang ini di lacak kebenerannya dan ternyata mereka eksis dan mereka adalah profesor fisika.

2. Konsep dasar mesin waktu akan di kemukakan oleh CERN di tahun 2001, kenyataanya di tahun 2000-2001 blom banyak yg tahu tentang organisasi CERN, dan ternyata bener pd tahun 2001 CERN menyatakan menemukan konsep black hole, dimana ini akan menjadi dasar mesin waktu.

3. John Titor memberikan rincian mesin waktu yang dia pakai kpd kita,yg berisi Magnetic housing units for dual microsignularities, Electron injection manifold to alter mass and gravity of microsingularities, Cooling and x-ray venting system, Gravity sensors (VGL system), Main clocks (4 cesium units), Main computer units (3). Para ilmuwan skrg menyatakan dgn mesin dan cara operasional yg disampaikan John memungkinkan untuk melakukan timetravel.

4. Prediksi cepat JOhn ttg amerika bahwah, mulai tahun 2004 USA akan mulai terjadi perang saudara, dimana antara tahun 2004-2008 terjadi demonstrasi dan pergolakan di dalam USA, tahun 2008-2015 puncak dari perang saudara itu.

5. Perang dunia 3 akan di mulai tahun 2015, dia menyatakan Rusia akan menyerang amerika dgn nuklir di tahun 2015, otomatis perang saudara di amerika berhenti dan mereka bersatu melawan russia dan nantinya amerika hanya akan terbentuk menjadi 5 negara bagian dengan presiden setiap negara bagian masing2 dengan ibukota berpindah ke nebraska. Menurut dia kota2 besar di amerika akan hancur begitun di eropa,CINA, timur tengah. Sedangkan negara2 yg tidak terlibat perang dunia ke 3 adalah amerika selatan dan australia, NZ. Perang ini akan menghilangkan 3 milyar populasi dunia.

6. Penyakit sapi gila akan mewabah dan makin parah di tahun 2036, karena penyakit ini dapat berdiam dalam tubuh manusia selama 30tahun lebih dan mulai beraksi saat kita menjelang tua, penyakit AIDS belum ada obatnya, penyakit kanker sudah bisa di atasi dgn menggunakan virus melawan kanker itu sendiri (teori kanker ini sudah terbukti di jaman kita).

7. Makanan dan air bersih sangat sukar di dapatkan akibat radiasi nuklir, di tahun 2036 setiap orang akan sangat berhati2 dengan makanan/minuman yg akan di konsumsinya, John menyatakan dia sangat ketakutan di tahun 2000-2001 dimana melihat orang dpt memesan makanan sesuka hatinya spt di fastfood tanpa mengecek kesehatan makanan tersebut.

8. Di masa depan kehidupan bertani akan kembali,religi akan menjadi sangat kuat, banyak orang yg menyesalkan PD3 hanya karena permainan politik.

9. John pernah menyatakan di NY akan ada gedung pencakar langit yang akan hilang dalam waktu dekat (9/11) dan tidak ditemukan nya Senjata pemusnah massal di timur tengah (irak) tetap membuat politik amerika untuk berperang.

10. Perkembangan IT akan sangat berkembang, dia menyatakan bahwa bakal banyak org akan membuat video mereka sendiri dan di upload ke internet (youtube) lalu sistem internet nanti akan independen dgn hanya menggunakan alat kecil dgn tenaga matahari dapat memancarkan signal sejauh 60mil (wi-max)

11. Di tahun 2036 energi hydrogen dan energi panas matahari berperan sangat penting dan lebih efisien

12. Anda-anda sekarang barusan melewati bencana yg menakutkan, coba andi pikiran kembali apa yg ditakuti 1- 1,5 tahun yg lalu (taon 1999), menurut milis di forum yg di maksud adalah bencana y2k, mereka menyatakan bahwa John telah kembali ke tahun 1975 untuk memberitahu para imuwan ttg bencana y2k.

13. Menurut John, kehidupan sosial masyarakat sekarang adalah sangat parah, karena kita semua sangat malas, egois, individualis, acuh untuk bersosialisasi seperti domba dan banyak org yg menghabiskan waktu untuk hal2 yg tak berguna. Coba lah tuk bangun dan melihat keadaan disekeliling kita, kondisi alam makin rusak, bumi ini lagi sekarat.

14. Di tahun 2036 tidak ada organisasi kesehatan yang akan melindungi mu, jadi jika anda sakit parah, siap2 gali lubang kubur sendiri.(klo saat ini ada jaminan kesehatan tuk seluruh penduduk amrik)

15. Temperatur dan suhu di dunia akan menjadi lebih dingin.

16. Saya tahu tentang prediksi bangsa maya ttg tahun 2012, yah memang sesuatu hal yg unik akan terjadi, kira2 seperti cerita ttg laut merah dan org mesir. tapi itu tidak membuat dunia ini kiamat.

17. Yahoo and microsoft is no longer exist in 2036.

18. MARS AND UFO, sampai tahun 2036 kita masih tidak menemukan apa2 di mars, begitu pun ttg ufo masih menjadi misteri, walaupun para ilmuwan di tahun 2036 pernah menyatakan bahwa ufo/alien juga adalah timetraveler dari masa depan dan alien adalah bangsa manusia yg telah berevolusi akibat perubahan alam/radiasi/perang, mereka para alien memiliki struktur tubuh dan organ2 internal yg sama dengan manusia.

John Titor last post tgl 21 maret 2001 mengatakan selamat tinggal, dan dia kembali ke tahun 2036.

John Titor pernah meminta ayahnya untuk merekam proses time machine saat dia pakai untuk kembali ke tahun 2036 dan di upload ke internet melalui pengacara keluarganya Larry Harber, tapi entah kenapa rekaman video itu tidak jadi di upload, ada yg bilang rekaman itu telah di ambil oleh pihak intelijen amerika.
Saat john kembali ke 2036, tak lama keluarga titor pindah ke nebraska, seminggu sesudahnya terjadi badai topan ganas melanda florida dan menghancurkan tempat tinggal titor di florida.
Saat ini keluarga Titor dirahasiakan keberadaannya, dan bagi public yg ingin melakukan kontak dgn keluarganya dapat melalui pengacaranya Larry Harber.

Beberapa hal di sarankan John kepada kita,

1. Jangan makan atau menggunakan produk dari binatang yg di beri makan atau makan bangkai sesamanya.

2. Jgn cium atau berhubungan intim dgn org yang anda tidak kenal (maksudnya klo sungkem ga perlu cium pipi kiri kanan spt kebiasan org amrik)

3. Belajar lah dasar sanitasi dan penjernihan air

4. Biasakan lah menggunakan senjata api, belajar menembak dan membersihkan senjata api.

5. Selalu sediakan kotak p3k dan belajarlah tuk menggunakannya

6. Cari lah 5 org kawan yg anda percaya dalam radius 100mil dan selalu berkontak.

7. Ambilah salinan Undang-undang US dan baca lah

8. Kurangin makan

9. Carilah sepeda dan 2 set ban cadangan, bersepedalah 10 mil tiap minggu

10. Pikirkanlah apa yg mesti kamu bawa jika kamu harus meninggalkan rumah dalam waktu 10 menit dan tak akan pernah kembali lagi.

Sumber: www.johntitor.com/

[info] berjumpa kematian - mansur al hallaj



Tanggal 27 Maret 922, vonis mati atas al-Hallaj dilaksanakan di hadapan ribuan pasang mata merah yang terus meradang dan tak henti berteriak histeris. Yel-yel Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar menggelegar. Suaranya memenuhi udara di sekitarnya. Sejumlah ulama Fiqh, Hadits dan Kalam hadir menjadi saksi. Para ahli Fiqih literalis ketat dan para hakim yang memvonis mati berdiri paling depan.

Sejumlah sufi besar juga hadir, meski memperlihatkan sikap dan suasana batin yang berbeda, menyaksikan peristiwa paling dramatis ini. Antara lain, untuk menyebut beberapa saja, Abu al-Qasim al-Junaid, Abu Bakar al-Syibli (w. 334) dan Ibrahim ibn Fatik. Nama terakhir ini adalah sahabat setia yang selalu menemani al-Hallaj di penjara.

Tak jelas bentuk hukuman mati untuk Hallaj itu, apakah di tiang gantungan, dipenggal atau disalib di pelepah kayu keras. Mungkin tak penting betul untuk dijawab. Yang populer adalah bahwa dia dipenggal lehernya, sesudah mati digantungan. Beberapa menit menjelang kematiannya, meski tubuhnya dililit rantai besi, al-Hallaj berdiri tegak dan dengan riang, seperti akan bertemu Kekasih, menengadahkan wajahnya ke langit biru yang bersih, seakan siap menyambut kedatangannya. Dia menyampaikan kata-kata monumental yang indah beberapa detik sebelum nafasnya pergi dan kembali kepada Tuhan.

Oh Tuhan, lihatlah, hamba-hamba-Mu telah berkumpul.
Mereka menginginkan kematianku demi membela-Mu dan untuk lebih dekat dengan-Mu.
Oh Tuhan, ampuni dan kasihi mereka.
Andai saja Engkau menyingkapkan kelambu wajah-Mu kepada mereka sebagaimana Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tak akan melakukan ini kepadaku.
Andai saja Engkau turunkan kelambu wajah-Mu dariku, sebagaimana Engkau menurunkannya dari wajah-wajah mereka, niscaya aku tak akan diuji seperti ini.
Hanya Engkaulah Pemilik segala Puji atas apa yang Engkau lakukan. Hanya engkaulah pemilik segala puji atas apa yang Engkau kehendaki.

Setelah itu dia bergumam lirih:

اقتلونى يا ثقاتى إن فى قتلى حياتى
ومماتى فى حياتى وحياتى فى مماتى
إن عندى محو ذاتى من أجل المكرمات
وبقائى فى صفاتى من قبيح السيئات
فاقتلونى واحرقونى بعظام الفانيات

Bunuhlah aku, O, Kekasihku
Kematianku adalah hidupku
Kematianku ada dalam hidupku
Hidupku ada dalam kematianku.
Ketiadaanku adalah kehormatan terbesar
Hidupku seperti ini tak lagi berharga
Bunuhlah aku, bakarlah aku
Bersama tulang-tulang yang rapuh

Suasana senyap. Al-Hallaj diam. Abu al-Harits al-Sayyaf, sang algojo, melangkah gagah dengan wajah amat angkuh, mendekati al-Hallaj. Ia menampar pipinya dan memukul hidungnya begitu keras hingga darah hidung mengaliri jubahnya.

Al-Hallaj, kata para saksi, sungkem kepada Tuhan,

الهى اصبحت فى دار الرغائب أنظر الى العجائب.

“Tuhanku, kini aku telah berada di Rumah Idaman. Aku melihat betapa banyak keindahan yang mengagumkan”.

Al-Hallaj segera naik kursi yang di atasnya sudah dipasang tali yang akan menjerat lehernya. Ia lalu memasukkan kepalanya ke lingkar tali itu. Segera sesudah itu kursi ditarik, dan al-Hallaj terkulai. Si algojo segera mengayunkan pedangnya dan menebas leher al-Hallaj. Tubuh itu lalu dimutilasi dan dibakar sampai jadi abu. Dan ditebarkan di sungai Tigris.

[info] kidung kematian - jalaluddin rumi



Perjumpaan dengan kekasih adalah impian para pencinta (lover), tapi bagaimana jika pertemuan itu harus diawali dengan kematian?

Banyaknya narasi tentang kematian yang bermatra kesedihan, kehilangan dan air mata menjadikan kematian sebagai peristiwa yang menyedihkan dan menakutkan. Akan tetapi, membaca narasi kematian dalam kidung cinta para sufi adalah hal yang berbeda. Rumi, misalnya, menggambarkan kematian sebagai jalan untuk menuju cinta yang abadi “eternal love” serta menghantarkan cinta “hubb” dan kerinduan yang mendalam “Isq” pada sang kekasih.

Menjadikan Tuhan sebagai kekasih dan mentamsilkan kematian sebagai jalan pertemuan tentu bukan perjalanan yang mudah, ada banyak tahap yang perlu dilalui; dari tahapan syaria’a, dan tariqa menuju tahapan ma’rifa. Cinta dan perjalanan-perjalanan spiritualitas (suluk) inilah yang telah mengantarkan para sufi menuju tahapan makrifat (maqam ma’rifah) dan pada saatnya mengantarkan pada konsepsi bahwa kematian adalah hal peristiwa membebaskan nan dinantikan.

Pada tahapan ma’rifa cinta memegang kunci utama untuk menembus batasan-batasan indrawi yang terikat ruang dan waktu serta meninggalkan cinta fisik yang fana. Hal ini pula seperti yang dikatakan Ghazali bahwa jalan menuju makrifat adalah cinta (mahabbah) (Schimmel, 1975:130).

Maulana Rumi bernama asli Jalaluddin Muhammad. Pemberian gelar Maulana (master sufi yang agung) adalah bentuk rekognisi akan magnum opus-nya dalam kesufian, sementara Ar-Rumi (Persia) Al-Balkhi (Balkh) adalah untuk mengingat asal usulnya.

Ayahnya, Muhammad ibn Husayn Khatibi yang cukup dikenal dengan sebutan Bahauddin Walad atau Sultan al-‘ulama’. Menurut Nashr, Rumi juga mewarisi tradisi spiritual yang terhubung pada Najmuddin al-Kubra, pendiri Kubrawiyah pada dinasti Timurid (1993:20). Dari silisilah ini menunjukan bahwa Rumi lahir dari keluarga bangsawan Persia yang mapan baik dalam kedudukan social, keilmuan maupun keagamaan.

-

Kidung Kematian Rumi 

“When I die, / ketika aku mati
when my coffin / ketika peti matiku
is being taken out / dibawa
you must never think / jangan pernah kamu berpikir

I am missing this world. / bahwa aku rindu dunia ini

Don’t shed any tears, / jangan mengucurkan air mata
don’t lament or / jangan meratap
feel sorry / atau merasa sedih

I’m not falling / aku tidak jatuh
into a monster’s abyss. / pada jurang yang menakutkan

When you see / ketika kau melihat
my corpse is being carried/ jasadku dibawa
don’t cry for my leaving / jangan menangis untuk kepergianku

I’m not leaving / aku tidak pergi

I’m arriving at eternal love/ aku datang pada cinta yang abadi

When you leave me / ketika kau meninggalkanku
in the grave / di kuburan
don’t say goodbye. / jangan mengucap selamat tinggal

Remember a grave is / ingatlah, kuburan
only a curtain   / hanyalah sebuah tirai
for the paradise behind./ untuk surga yang akan datang

You’ll only see me / kau hanya akan melihatku

descending into a grave/ masuk ke dalam kuburan

Now watch me rise / sekarang lihatlah aku yang bangkit

how can there be an end / bagaimana disana sebagai akhir

when the sun sets or / ketika matahari tengelam

It looks like the end / ini terlihat seperti akhir

it seems like a sunset / terlihat seperti senja

but in reality it is a dawn / tapi dalam realitanya, ini adalah fajar

when the grave locks you up / ketika kuburan menguncimu

that is when your soul is freed / itu adalah waktu ketika jiwamu terbebaskan.


Sepenggal kidung yang membungkam, menceritakan kematian bukan dari sisi gelap yang menakutkan dan menyengsarakan, tetapi membahagiakan dan membebaskan. Tentu saja Rumi menghargai kehidupan, menyukai anggur dan makanan, akan tetapi cinta yang besar telah menghilangkan semua ketakutan-ketakutan imajiner akan kematian.

Membaca kidung kematian Rumi yang penuh cinta mengingatkan kembali kepada kita akan makna dan hakikat kehidupan. Bahwa kehidupan di dunia hanyalah bagian kecil dari perjalanan panjang menuju keabadian, kematian terlihat seperti akhir , tapi sesungguhnya itu adalah permulaan yang baru. Wallahu a’lam.

[info] mengajak kebaikan dan melarang kemungkaran, tetapi perbuatan menyelisihi perkataan



Oleh: asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin råhimahullah

Dalil dari al-Qur’an

Allåh subhanahu wa ta’ala berfirman:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ ؟ أَفَلَا تَعْقِلُونَ ؟

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir? (al-Baqarah : 44)

Allåh subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ ؟ | ٦١:٢
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ | ٦١:٣

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (Ash- Shaff : 2-3)

Dan Allah berfirman mengabarkan tentang Nabi Syuaib alaihissalam :

وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَىٰ مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ ۚ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan” (Hud : 88)

Syarah (Penjelasan)

Berkata Imam Nawawi (semoga Allah merahmati beliau) : “Bab ancaman terhadap orang yang berbuat kebaikan dan melarang kemungkaran sedangkan perkataannya menyelisihi perbuatannya” .

Dikarenakan bab sebelumnya (membahas tentang) wajibnya menyuruh berbuat baik dan mencegah kemungkaran, maka pembahasan yang sesuai (setelah itu) adalah menyebut dalam bab ini ancaman terhadap orang yang menyuruh berbuat baik tetapi tidak mengamalkannya, atau orang yang melarang kemungkaran tetapi ia sendiri melakukannya, (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu).

Yang demikian itu, barangsiapa yang keadaannya seperti ini, maka ia bukanlah orang yang jujur (benar) dalam amar makruf nahi mungkar, karena kalaulah ia orang yang jujur dan benar dalam amar makruf, dan menyakini apa yang ia perintahkan adalah kebaikan, tentulah ia orang yang pertama kali mengamalkannya jika ia orang yang berakal.

Demikan juga kalau ia melarang dengan suatu kemungkaran, dan ia menyakini kemungkaran itu memberi bahaya, melakukannya merupakan perbuatan dosa, tentulah ia orang yang pertama kali meninggalkannya jika ia orang yang berakal.




Maka jika ia memerintahkan kebaikan dan tidak melakukannya, atau melarang kemungkaran sedangkan ia melakukannya, ketahuilah bahwa perkataannya ini tidaklah dibangun diatas aqidah! (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu…)

Oleh karena itu Allah mengingkari seseorang yang melakukan hal itu,

Allah berfirman :

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ ؟ أَفَلَا تَعْقِلُونَ ؟

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab? Maka tidakkah kamu berpikir? (al-Baqarah : 44)

Pertanyaan dalam ayat diatas adalah pengingkaran, yang artinya

“Bagaimana kalian menyuruh manusia berbuat kebaikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, janganlah kalian melakukan seperti ini, sedangkan kalian membaca Al Kitab dan mengetahui kebaikan dan kejelekan, tidakkah kalian berakal?”

Dan pertanyaan ini adalah untuk menjelekkan; Allah berkata kepada mereka :

“Bagaimanakah kalian melakukan perbuatan semacam ini? dan sesuatu seperti ini menimpa kalian? Dimana akal-akal kalian jika kalian adalah orang-orang yang jujur?”

Contoh dari hal ini: Seorang lelaki menyuruh manusia untuk meninggalkan riba, akan tetapi ia bermuamalah dengan riba, atau melakukan amalan yang lebih dari riba.

Ia berkata kepada manusia (misalnya) : “Janganlah kalian mengambil riba dalam bertransaksi dengan Bank!”, tapi ia sendiri mengambil riba dengan bersiasat, makar dan tipu daya.

Tidakkah ia mengetahui bahwa apa yang mereka perbuat dari siasat,makar dan tipu daya lebih besar dosanya dari orang yang memang berniat mengambil riba?!!

Oleh karena itu Ayyub as-Sahtiyani (semoga Allah merahmati beliau) berkata tentang pelaku-pelaku siasat dan makar : “Sesungguhnya mereka menipu Allah, sebagaimana mereka menipu anak kecil. Kalaulah mereka melakukan dalam bentuk semestinya (memang berniat mengambil riba) tentulah dosanya lebih rendah”.

Demikian juga seseorang yang menyuruh manusia untuk mengerjakan shalat, akan tetapi ia sendiri tidak shalat !! maka bagaimanakah hal ini bisa terjadi ? bagaimanakah engkau menyuruh manusia shalat, dan engkau melihatnya suatu kebaikan, lalu engkau meninggalkannya? Apakah ini menunjukkan berakal?

Tidak, Tidaklah hal ini menunjukkan perbuatan orang yang berakal, terlebih lagi tidak termasuk dari agama. Hal ini menyelisihi akal, dan kebodohan dalam agama. (kita mohon kepada Allah keselamatan)

Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ ؟ | ٦١:٢
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ | ٦١:٣

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (Ash- Shaff : 2-3)

“Wahai orang-orang yang beriman”. Allah memanggil mereka dengan keimanan, karena konsekwensi dari keimanan adalah manusia tidak melakukan hal itu, dan tidak mengatakan apa yang tidak ia kerjakan, kemudian Allah memburukkan mereka dengan firman-Nya : “Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?”.

Kemudian Allah jelaskan bahwa perbuatan semacam ini dibenci dan dimurkai disisi Allah, Allah berfirman : “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”

Dan arti “kebencian” (dalam ayat diatas), berkata para ulama : “Kebencian yang sangat”, karena Allah benci dan murka terhadap seseorang yang keadaannya seperti ini, ia mengatakan apa yang tidak ia perbuat.

Dan Allah menerangkan kepada hamba-Nya bahwasanya hal yang demikian itu adalah dari hal-hal yang membuat murka Allah agar orang yang beriman menjauhi perbuatan ini. Karena seorang yang benar-benar beriman akan menjauhi apa yang dilarang Allah.

Dan Allah berfirman tentang (perkataan) Nabi Syuaib alaihissalam :

وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَىٰ مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ ۚ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan”

(Hud : 88)

Yaitu bahwasanya Nabi Syuaib alaihissalam berkata kepada kaumnya :

“tidak mungkin aku melarang kalian dari kesyirikan, dan dari mengurangi ukuran dan timbangan sedangkan aku melanggar”.

Sekali-kali tidak mungkin, karena para Rasul (semoga kesejahteraan atas mereka) adalah manusia yang paling suka memberi nasehat kepada mahluk. Dan mereka adalah manusia yang paling besar pengagungannya terhadap Allah, dan paling taat kepada perintah-Nya dan paling jauh terhadap larangan-Nya. Maka tidak mungkin mereka menyelisihi perkara-perkara yang mereka larang kepada manusia dan mereka melanggarnya.

Dan dalam hal ini terdapat dalil bahwa manusia yang melanggar apa yang ia larang, atau meninggalkan apa yang ia perintahkan, menyelisihi jalan para Rasul, Karena para Rasul tidak mungkin menyelisihi dari apa yang mereka larang kepada manusia. Dan akan disampaikan (insya Allah) hadits-hadits yang menjelaskan tentang hukuman orang yang meninggalkan apa yang ia perintahkan dan melanggar apa yang ia larang, (Allah-lah yang memberi petunjuk).

Dalil dari as-Sunnah

Dari Abu Zaid Usaman bin Zaid bin Haritsah ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkata :

يُجَاءُ بِرَجُلٍ فَيُطْرَحُ فِي النَّارِ إِلَّا أَنَّهُ زَادَ فِيهِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَطْحَنُ فِيهَا كَطَحْنِ الْحِمَارِ بِرَحَاهُ فَيُطِيفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ

“Seseorang didatangkan pada hari kiamat kemudian dilemparkan ke dalam neraka hingga ususnya terburai keluar; dan (ia) berputar-putar di neraka layaknya keledai mengitari alat penumbuk gandum. Kemudian penduduk neraka mendekatinya

فَيَقُولُونَ يَا فُلَانُ أَلَسْتَ كُنْتَ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ

Maka mereka berkata: Hai Fulan! Bukankah dulu engkau memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran?

فَيَقُولُ إِنِّي كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا أَفْعَلُهُ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَأَفْعَلُهُ

Ia menjawab: ‘Benar, dulu aku memerintahkan kebaikan namun tidak kulakukan dan mencegah kemungkaran namun aku melakukannya.”

(Hadits riwayat Ahmad (dan ini lafazhnya), Bukhari dan Muslim).[1. -tambahan abu zuhriy:

Ada juga hadits yang semisal dengan hadits diatas, yang berbunyi:

Råsulullåh bersabda:

رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي رِجَالًا تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيلُ مَنْ هَؤُلَاءِ

Pada Malam Isra’ku aku bertemu dengan beberapa orang laki-laki yang lidahnya dipotong dengan gunting api. Aku bertanya, “Siapakah mereka, Wahai Jibril?”

قَالَ هَؤُلَاءِ خُطَبَاءُ مِنْ أُمَّتِكَ يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُونَ

Jibril Menjawab, “Mereka adalah para khatib, diantara umatmu yang menyeru kepada kebaikan dan mereka melupakan kebaikan itu untuk diri mereka sendiri. Padahal mereka orang-orang yang membaca al-kitab (al-qur’an), apakah mereka itu tidak berakal?

(HR. Imam ahmad, dan Al-Baghawi, Al-Baghawi mengatakan bahwa hadits ini hasan)]

Syarah (Penjelasan hadits diatas)

Hadits ini terdapat ancaman keras terhadap orang yang menyuruh berbuat baik sedangkan ia menyelisihi perkataannya : “Didatangkan seorang laki-laki pada hari kiamat”

Artinya Malaikat membawanya lalu ia dilemparkan ke neraka, ia tidak dilemparkan dengan lembut, akan tetapi ia dilemparkan sebagaimana batu dilemparkan ke laut (dengan lemparan keras), lalu ususnya berhamburan melilit perutnya (lantaran kerasnya lemparan).

“lalu ususnya melilitnya sebagaimana keledai mengitari tempat penggilingan tepung”.

Artinya ini adalah perumpamaan untuk menghinakan, ia diumpamakan seekor keledai yang mengitari adonan tepung, (gambarannya, adalah dulu sebelum ditemukan alat modern untuk pengolahan tepung, dahulu dua batu besar diletakkan, dan dilobangi antara keduanya dan diletakkan di batu yang paling atas sebuah pembuka dimana darinya biji gandum masuk. Dan pada pembuka tadi terdapat kayu yang diikat pada punggung keledai, lalu keledai tersebut berputar mengitari tempat penggilingan tepung).

Laki-laki yang dilemparkan ke neraka ini berputar, ususnya melilitnya sebagaimana keledai mengitari adonan tepung (semoga Allah melindungi kita), maka penghuni neraka berkumpul dan bertanya kepadanya : “Mengapa kamu? Apa yang menyebabkan kamu masuk neraka sedangkan engkau menyuruh kepada kebaikan dan melarang kepada kemungkaran ?” lalu laki-laki itu menjawab : “Saya dahulu menyuruh berbuat baik sedangkan diriku tidak mengerjakannya”.

Ia berkata kepada manusia :

“Sholatlah kalian!”

Akan tetapi ia tidak sholat.

Ia juga berkata :

“Zakatilah harta-harta kalian!”

Akan tetapi ia tidak berzakat.

(Ia juga berkata):

“Berbuat baiklah kepada orang tua !”

akan tetapi ia tidak berbuat baik kepada kedua orang tuanya.

Demikianlah ia selalu menyuruh berbuat kebaikan akan tetapi ia tidak mengerjakannya. “Dan aku melarang dari yang mungkar sedangkan diriku mengerjakannya”

Ia berkata kepada manusia:

“Janganlah menggunjing!”
“Janganlah makan riba !”
“Janganlah menipu dalam jual beli!”
“Janganlah berbuat jelek kepada keluarga dan tetangga !”

dan semisal ini dari perkara-perkara yang diharamkan, akan tetapi ia mengerjakannya (semoga Allah melindungi kita), Ia menjual dengan riba, menipu, berbuat jahat kepada keluarga, tetangga, dan lainnya.

Ia menyuruh berbuat kebaikan dan tidak mengerjakannya, ia melarang dari kemungkaran sedangkan dirinya mendatanginya. (Kita memohon kepada Allah keselamatan), lalu ia disiksa dengan siksaan seperti ini, dan dihina dengan kehinaan ini.

Maka wajib bagi seseorang untuk memulai dari dirinya dan menyuruh dirinya untuk berbuat kebaikan dan melarangnya dari berbuat kemungkaran. Karena manusia yang paling besar haknya sesudah Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam adalah dirimu (sendiri)!

Mulailah dari dirimu dan laranglah dia dari kejahatannya
Jika jiwamu telah berhenti dari kejahatan maka engkau adalah orang bijaksana

Mulailah dari dirimu sendiri dan berusahalah menasihati teman-temanmu
Dan perintahkanlah kepada teman-temanmu berbuat kebaikan

Dan laranglah mereka dari kemungkaran agar engkau menjadi orang yang shalih, orang yang baik dan memperbaiki orang lain.

Kita memohon kepada Allah agar menjadikan saya dan kalian orang-orang yang shalih, baik, dan memperbaiki. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

Maraji’

Sumber:
Diterjemahkan dari syarh Riyadhus Shalihin, oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu
www.salafi.or.id
milis as-sunnah
groups.yahoo.com/group/assunnah/message/15684
abuzuhriy.wordpress.com

[info] hukum cadar - dalil yang tidak mewajibkan


MUKTAMAR VIII NAHDLATUL ULAMA
Keputusan Masalah Diniyyah Nomor : 135 / 12 Muharram 1352 H / 7 Mei 1933 Tentang
HUKUM KELUARNYA WANITA DENGAN TERBUKA WAJAH DAN KEDUA TANGANNYA

ج: يحرح خروجها لذلك بتلك الحالة على المعتمد والثاني يجوز خروجها لأجل المعاملة مكشوفة الوجه والكفين إلى الكوعين. وعند الحنفية يجوز ذلك بل مع كشف الرجلين إلى الكوعين إذا أمنت الفتنة.

Jawab: Hukumnya wanita keluar yang demikian itu haram, menurut pendapat yang mu’tamad, menurut pendapat lain boleh wanita keluar untuk jual beli dengan terbuka muka dan kedua telapak tangannya, dan menurut Mazhab Hanafi, demikian itu boleh bahkan dengan terbuka kakinya (sampai mata kaki) apabila tidak ada fitnah.

SUMBER :
Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman123-124, Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh; Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jatim dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.

===================================================================
PENDAPAT PRIBADI PENULIS
jelas ya, di sana ada 3 jawaban, 1.haram 2.boleh 3.boleh jika tidak menimbulkan fitnah.. sederhananya jika hukumnya WAJIB maka yg tidak bercadar jatuhnya HARAM dan pasti berdosa. berikut pandangan pribadi penulis tentang cadar:

1. Jika perempuan tersebut teramat cantik wajahnya lebih baik bercadar, karena bisa menimbulkan fitnah. juga menimbulkan syahwat bagi yg melihatnya. walau pun yg lebih utama adalah lelaki harus menundukkan pandangannya...

2. Jika perempuan keluar sendiri (tanpa suami/ saudara/ kerabat/ teman) maka lebih baik menutup wajahnya untuk mengamankan dirinya, masker bisa.. Kecuali jika ada yg melindunginya/ ada temannya/ ada di lingkungan sekitarnya tidak perlulah menutup wajahnya..

3. Semisal anak perempuan kita bercadar.. maka dengan bercadar anakanak kita tidak terdeteksi saat di luar sana, misalnya bilang ada tugas eh taunya ke tempat lain.. ini bahaya sekali jika anak kita tidak amanah, malah memanfaatkan cadar.. jika tidak bercadar lalu berkeliaran di luar ketemu saudara kita/ teman kita bisa langsung dilaporin ke keluarga, kalau bercadar kan gak ketemu.. ini khusus jika anaknya gak amanah saja, karena kesempatan selalu ada..

4. Bukankah bercadar juga untuk menghindari fitnah? malah jika bercadar di tempat yg biasa tidak bercadar akan mendatangkan fitnah.. itu akan membuat orang sekitar ghibah dan memfitnah, benar di akhir zaman berpegang pada agama seperti menggenggam bara api, namun lihat lebih luas lagi.. dengan bercadar kita malah membuat orang sekitar terbiasa berghibah lebih lebih fitnah.. walau benar juga yg penting kan penilaian Allah, eits tapi jangan lupa Allah juga sesuai prasangka hambanya.. makin banyak yg berprasangka makin berat tanggung jawab hisabnya.. lebih amannya menutup aurat dg hijab ya maksimal syar'i lah, dg begitu aurat terjaga.. juga lingkungan pun tidak terbiasa bergunjing..

5. Kembali pada berhijab, bagi penulis salah satu tujuan berhijab adalah tidak mencuri perhatian.. terutama lawan jenis, maka berhijablah yang sederhana syar’i.. ^_^

Jadi, Penulis lebih fleksibel dalam hal cadar cenderung pada BOLEH. namun lebih utama hijab sederhana syar'i.. baik, langsung saja ke intinya:

===================================================================
DALIL-DALIL YANG TIDAK MEWAJIBKAN
Inilah secara ringkas beberapa dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar bagi wanita.

Pertama, firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.” (QS. An Nuur: 31)

Tentang perhiasan yang biasa nampak ini, Ibnu Abbas berkata, “Wajah dan telapak tangan.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Isma’il Al Qadhi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59-60, Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah, Cet. I. Tetapi berbagai riwayat dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ini dilemahkan oleh Syeikh Mushthafa Al Adawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa. Tentang hal ini terdapat riwayat-riwayat shahih dari perkataan sebagian tabi’in. Wallahu a’lam).

Perkataan serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar. (Riwayat ini dishahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59-60). Berdasarkan penafsiran kedua sahabat ini jelas bahwa wajah dan telapak tangan wanita boleh kelihatan, sehingga bukan merupakan aurat yang wajib ditutup.

Kedua, firman Allah,

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nur: 31)

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Allah ta’ala memerintahkan para wanita menutupkan khimar (kerudung) pada belahan-belahan baju (dada dan lehernya), maka ini merupakan nash menutupi aurat, leher dan dada. Dalam firman Allah ini juga terdapat nash bolehnya membuka wajah, tidak mungkin selain itu.” (Al Muhalla III/216-217, Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 73).

Karena memang makna khimar (kerudung) adalah penutup kepala. Demikian diterangkan oleh para ulama, seperti tersebut dalam An Nihayah karya Imam Ibnul Atsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Al Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Fathu Al Qadir karya Asy Syaukani, dan lainnya. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 72-73).

Ketiga, firman Allah subhanahu wa ta’ala,

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَايَصْنَعُونَ {30} وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nur: 30,31)

Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 76,77). Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di antaranya,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ إِنْ أَبَيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ

Dari Abu Said Al Khudri radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di jalan”. Maka para Sahabat berkata, “Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1150, Muslim, Abu Dawud (4816). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah 6/11-13)

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali radhiallahu ‘anhu,

يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ

“Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua), karena engkau berhak (yakni, tidak berdosa) pada pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan (kedua).” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77)

Jarir bin Abdullah berkata,

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ فَقَالَ اصْرِفْ بَصَرَكَ

Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau bersabda, “Palingkan pandanganmu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 78)

Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Para ulama berkata, di sini terdapat hujjah (argumen) bahwa wanita tidak wajib menutupi wajahnya di jalan, tetapi hal itu adalah sunah yang disukai. Dan yang wajib bagi laki-laki ialah menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan, kecuali untuk tujuan yang syar’i (dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh Muhyiddin An Nawawi, dan beliau tidak menambahinya.” (Adab Asy Syar’iyyah I/187, karya Ibnu Muflih. Lihat: Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77).

Keempat, Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata,

أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا

Bahwa Asma’ bintu Abi Bakar menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan berkata, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud, Thabarani, Ibnu ‘Adi, dari jalan Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari ‘Aisyah. Ibnu ‘Adi berkata, “Terkadang Khalid mengatakan dari Ummu Salamah, sebagai ganti dari ‘Aisyah.” Sanad hadits ini lemah, sebagaimana Abu Dawud berkata setelah meriwayatkannya, “Hadits ini mursal, Khalid bin Duraik tidak bertemu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Demikian juga perawi bernama Sa’id bin Basyir lemah.”)

Hadits ini sesungguhnya lemah, tetapi Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini dikuatkan dengan beberapa penguat (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 58).

(1) Riwayat mursal shahih dari Qatadah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Jika seorang gadis kecil telah haidh, maka tidak pantas terlihat sesuatu darinya kecuali wajahnya dan tangannya sampai pergelangan.” (Tetapi kemungkinan riwayat ini sama sanadnya dengan riwayat di atas, yaitu Qatadah mendapatkan hadits ini dari Khalid bin Duraik, sehingga tidak dapat menguatkan. Wallahu a’lam).

(2) Diriwayatkan oleh Thabrani dan Al Baihaqi dari jalan Ibnu Luhai’ah, dari ‘Iyadh bin Abdullah, bahwa dia mendengar Ibrahim bin ‘Ubaid bin Rifa’ah Al Anshari menceritakan dari bapaknya, aku menyangka dari Asma’ binti ‘Umais yang berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, dan di dekat ‘Aisyah ada saudarinya, yaitu Asma bintu Abi Bakar. Asma memakai pakaian buatan Syam yang longgar lengan bajunya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau bangkit lalu keluar. Maka ‘Aisyah berkata kepada Asma, “Menyingkirlah engkau, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat perkara yang tidak beliau sukai. Maka Asma menyingkir. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, lalu Aisyah bertanya kenapa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit (dan keluar). Maka beliau menjawab, “Tidakkah engkau melihat keadaan Asma, sesungguhnya seorang wanita muslimah itu tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini”, lalu beliau memegangi kedua lengan bajunya dan menutupkan pada kedua telapak tangannya, sehingga yang nampak hanyalah jari-jarinya, kemudian meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua pelipisnya sehingga yang nampak hanyalah wajahnya.”

Al-Baihaqi menyatakan, “Sanadnya dha’if.” Kelemahan hadits ini karena perawi yang bernama Ibnu Luhai’ah sering keliru setelah menceritakan dengan hafalannya, yang sebelumnya dia seorang yang utama dan terpercaya ketika menceritakan dengan bukunya. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa haditsnya ini dapat dijadikan penguat. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59).

(3) Pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar) yang menjelaskan perhiasan yang biasa nampak yang boleh tidak ditutup, yaitu wajah dan telapak tangan. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59).

Kelima, Jabir bin Abdillah berkata,

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ

Aku menghadiri shalat hari ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah, dengan tanpa azan dan tanpa iqamat. Kemudian beliau bersandar pada Bilal, memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah dan mendorong untuk menaati-Nya. Beliau menasihati dan mengingatkan orang banyak. Kemudian beliau berlalu sampai mendatangi para wanita, lalu beliau menasihati dan mengingatkan mereka. Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bersedekah, karena mayoritas kamu adalah bahan bakar neraka Jahannam!” Maka berdirilah seorang wanita dari tengah-tengah mereka, yang pipinya merah kehitam-hitaman, lalu bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Karena kamu banyak mengeluh dan mengingkari (kebaikan) suami.” Maka para wanita itu mulai bersedekah dengan perhiasan mereka, yang berupa giwang dan cincin, mereka melemparkan pada kain Bilal. (HSR Muslim, dan lainnya)

Hadits ini jelas menunjukkan wajah wanita bukan aurat, yakni bolehnya wanita membuka wajah. Sebab jika tidak, pastilah Jabir tidak dapat menyebutkan bahwa wanita itu pipinya merah kehitam-hitaman. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59) (Tetapi dalil ini dibantah dengan penjelasan bahwa hadits ini yang mahfudz (shahih) dengan lafazh min safilatin nisa’ (dari wanita-wanita rendah) sebagai ganti lafazh sithatin nisa’ (dari wanita dari tengah-tengah). Yang hal itu mengisyaratkan wanita tersebut adalah budak, sedangkan budak tidak wajib menutupi wajah. Atau kejadian ini sebelum turunnya ayat hijab. Wallahu a’lam).

Keenam, Ibnu Abbas berkata,

أَرْدَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَضْلَ بْنَ عَبَّاسٍ … فَوَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنَّاسِ يُفْتِيهِمْ وَأَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ تَسْتَفْتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الْفَضْلِ فَعَدَلَ وَجْهَهُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا …

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengkan Al Fadhl bin Abbas… kemudian beliau berhenti untuk memberi fatwa kepada orang banyak. Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku Khats’am meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulailah Al Fadhl melihat wanita tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya. Nabi ‘alaihi wa sallam pun berpaling, tetapi Al Fadhl tetap melihatnya. Maka nabi ‘alaihi wa sallam memundurkan tangannya dan memegang dagu Al Fadhl, kemudian memalingkan wajah Al Fadhl dari melihatnya…” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)

Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dan dia menyebutkan bahwa permintaan fatwa itu terjadi di tempat penyembelihan kurban, setelah Rasulullah melemparkan jumrah, lalu dia menambahkan, “Maka Abbas berkata kepada Rasulullah ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kenapa anda memalingkan leher anak pamanmu?” Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, sehingga aku tidak merasa aman dari syaitan (menggoda) keduanya” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya. Syaikh Al Albani menyatakan, “Sanadnya bagus”)

Dengan ini berarti, bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah tahallul (selesai) dari ihram, sehingga wanita tersebut bukanlah muhrimah (wanita yang sedang berihram, dengan hajji atau umrah).

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Seandainya wajah wanita merupakan aurat yang wajib ditutupi, tidaklah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan wanita tersebut membuka wajahnya di hadapan orang banyak. Pastilah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita itu untuk menurunkan (jilbabnya) dari atas (kepala untuk menutupi wajah). Dan seandainya wajahnya tertutup, tentulah Ibnu Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau buruk.”

Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk menahan pandangan karena khawatir fitnah. Konsekuensinya jika aman dari fitnah, maka tidak terlarang. Hal itu dikuatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memalingkan wajah Al Fadhl sampai dia menajamkan pandangan, karena kekagumannya terhadap wanita tersebut, sehingga beliau khawatir fitnah menimpanya. Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) pertarungan watak dasar manusia terhadapnya serta kelemahan manusia dari kecenderungan dan kekaguman terhadap wanita. Juga terdapat (dalil) bahwa istri-istri kaum mukminin tidak wajib berhijab sebagaimana istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena (kalau memang hal itu) wajib bagi seluruh wanita, pastilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita dari suku Khats’am tersebut untuk menutupi (dirinya) dan tidak memalingkan wajah Al Fadhl. Di dalamnya juga terdapat (dalil) bahwa menutup wajah wanita tidak wajib, Para ulama berijma’ bahwa wanita boleh menampakkan wajahnya ketika shalat, walaupun dilihat oleh laki-laki asing.” (Fathu Al-Bari XI/8)

Perkataan Ibnu Baththal rahimahullah tersebut dibantah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, dengan alasan bahwa wanita dari suku Khats’am tersebut muhrimah (wanita yang sedang berihram). Tetapi Syaikh Al Albani menyatakan, bahwa yang benar wanita itu bukan muhrimah (wanita yang sedang berihram), sebagaimana penjelasan di atas. Seandainya wanita itu muhrimah (wanita yang sedang berihram), maka pendapat Ibnu Baththal itu tetap kuat. Karena wanita muhrimah itu boleh melabuhkan jilbabnya ke wajahnya di hadapan laki-laki asing, sebagaimana hadits tentang hal ini. (Lihat haditsnya pada edisi terdahulu, pada dalil ke 13 yang mewajibkan cadar). Maka hadits ini menunjukkan bahwa cadar tidaklah wajib bagi wanita, walaupun dia memiliki wajah yang cantik, tetapi hukumnya adalah disukai (sunah). Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga hukumnya muhkam (tetap; tidak dihapus). (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 61-64).

===================================================================
Berikut kumpulan dalil dalil dari sumber lainnya, walau ada yg serupa namun isi ada yg berbeda, lanjut saja membaca:

1. Firman Allah

وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. [An Nur/24 :31]

Tentang perhiasan yang biasa nampak ini, Ibnu Abbas berkata, “Wajah dan telapak tangan.” [1]

Perkataan serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar. [2].

Berdasarkan penafsiran kedua sahabat ini jelas bahwa wajah dan telapak tangan wanita boleh kelihatan, sehingga bukan merupakan aurat yang wajib ditutup.

2. Firman Allah.

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka. [An Nur/24 : 31]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala memerintahkan para wanita menutupkan khimar (kerudung) pada belahan-belahan baju (dada dan lehernya), maka ini merupakan nash menutupi aurat, leher dan dada. Dalam firman Allah ini juga terdapat nash bolehnya membuka wajah, tidak mungkin selain itu.” [3]

Karena memang makna khimar (kerudung) adalah penutup kepala. Demikian diterangkan oleh para ulama, seperti tersebut dalam An Nihayah karya Imam Ibnul Atsir, tafsir Al Qur’anil ‘Azhim karya Al Hafizh Ibnu Katsir, tafsir Fathul Qadir karya Asy Syaukani, dan lainnya. [4]

3. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَايَصْنَعُونَ {30} وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
[An-Nur/24 : 30-31]

Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 76,77]

Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di antaranya.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ أَبَيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ

Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di jalan.” Maka para Sahabat berkata, ”Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajeleis di jalan), maka berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintakan kebaikan dan mencegah kemungkaran.” [5]

Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu.

يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ

Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua), karena engkau berhak (yakni, tidak berdosa) pada pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan (kedua). [HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Dihasankan oleh Syeikh Al-Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 77]

Jarir bin Abdullah berkata.

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ فَقَالَ اصْرِفْ بَصَرَكَ

Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau bersabda, “Palingkan pandanganmu.” [HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 78]

Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Para ulama berkata, di sini terdapat hujjah (argumen) bahwa wanita tidak wajib menutupi wajahnya di jalan, tetapi hal itu adalah sunnah yang disukai. Dan yang wajib bagi laki-laki ialah menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan, kecuali untuk tujuan yang syar’i (dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh Muhyiddin An Nawawi, dan beliau tidak menambahinya.” [Adabusy Syar’iyyah I/187, karya Ibnu Muflih. Lihat: Jilbab Al-Mar’atil Muslimah, hal. 77]

4. Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata.

أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا

Bahwa Asma’ bintu Abi Bakar menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan berkata, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya.[6]

Hadits ini sesungguhnya lemah, tetapi Syeikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini dikuatkan dengan beberapa penguat :[7]

a). Riwayat mursal shahih dari Qatadah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Jika seorang gadis kecil telah haidh, maka tidak pantas terlihat sesuatu darinya kecuali wajahnya dan tangannya sampai pergelangan.” [8]

b). Diriwayatkan oleh Thabarani dan Al Baihaqi dari jalan Ibnu Luhai’ah, dari ‘Iyadh bin Abdullah, bahwa dia mendengar Ibrahim bin ‘Ubaid bin Rifa’ah Al Anshari menceritakan dari bapaknya, aku menyangka dari Asma’ binti ‘Umais yang berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, dan di dekat ‘Aisyah ada saudarinya, yaitu Asma bintu Abi Bakar. Asma memakai pakaian buatan Syam yang longgar lengan bajunya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau bangkit lalu keluar. Maka ‘Aisyah berkata kepada Asma, “Menyingkirlah engkau, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat perkara yang tidak beliau sukai. Maka Asma menyingkir. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, lalu Aisyah bertanya kenapa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit (dan keluar). Maka beliau menjawab, “Tidakkah engkau melihat keadaan Asma, sesungguhnya seorang wanita muslimah itu tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini”, lalu beliau memegangi kedua lengan bajunya dan menutupkan pada kedua telapak tangannya, sehingga yang nampak hanyalah jari-jarinya, kemudian meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua pelipisnya sehingga yang nampak hanyalah wajahnya.”

Al-Baihaqi menyatakan, “Sanadnya dha’if”. Kelemahan hadits ini karena perawi yang bernama Ibnu Luhai’ah sering keliru setelah menceritakan dengan hafalannya, yang sebelumnya dia seorang yang utama dan terpercaya ketika menceritakan dengan bukunya. Syeikh Al Albani menyatakan bahwa haditsnya ini dapat dijadikan penguat. [9]

c). Pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar) yang menjelaskan perhiasan yang biasa nampak yang boleh tidak ditutup, yaitu wajah dan telapak tangan. [10]

5. Jabir bin Abdullah berkata:

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ

Aku menghadiri shalat hari ‘ied bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah, dengan tanpa adzan dan tanpa iqamat. Kemudian beliau bersandar pada Bilal, memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah dan mendorong untuk mentaatiNya. Beliau menasehati dan mengingatkan orang banyak. Kemudian beliau berlalu sampai mendatangi para wanita, lalu beliau menasehati dan mengingatkan mereka. Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bersedekah, karena mayoritas kamu adalah bahan bakar neraka Jahannam! Maka berdirilah seorang wanita dari tengah-tengah mereka, yang pipinya merah kehitam-hitaman, lalu bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Beliau bersabda, “Karena kamu banyak mengeluh dan mengingkari (kebaikan) suami.” Maka para wanita itu mulai bersedekah dengan perhiasan mereka, yang berupa giwang dan cincin, mereka melemparkan pada kain Bilal. [HSR Muslim, dan lainnya]

Hadits ini jelas menunjukkan wajah wanita bukan aurat, yakni bolehnya wanita membuka wajah. Sebab jika tidak, pastilah Jabir tidak dapat menyebutkan bahwa wanita itu pipinya merah kehitam-hitaman. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59] [11]

6. Ibnu Abbas berkata.

أَرْدَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَضْلَ بْنَ عَبَّاسٍ … فَوَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنَّاسِ يُفْتِيهِمْ وَأَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ تَسْتَفْتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الْفَضْلِ فَعَدَلَ وَجْهَهُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا …

Rasulullah n memboncengkan Al Fadhl bin Abbas……kemudian beliau berhenti untuk memberi fatwa kepada orang banyak. Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku Khats’am meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulailah Al Fadhl melihat wanita tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpaling, tetapi Al Fadhl tetap melihatnya. Maka nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memundurkan tangannya dan memegang dagu Al Fadhl, kemudian memalingkan wajah Al Fadhl dari melihatnya……[HR Bukhari, Muslim, dan lainnya]

Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, dan dia menyebutkan bahwa permintaan fatwa itu terjadi di tempat penyembelihan kurban, setelah Rasulullah melemparkan jumrah, lalu dia menambahkan, “Maka Abbas berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kenapa anda memalingkan leher anak pamanmu?” Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, sehingga aku tidak merasa aman dari syaithan (menggoda) keduanya.” [HR Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya. Syeikh Al Albani menyatakan, “Sanadnya bagus”]

Dengan ini berarti, bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah tahallul (selesai) dari ihram, sehingga wanita tersebut bukanlah muhrimah (wanita yang sedang berihram, dengan hajji atau umrah).

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Seandainya wajah wanita merupakan aurat yang wajib ditutupi, tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan wanita tersebut membuka wajahnya di hadapan orang banyak. Pastilah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita itu untuk menurunkan (jilbabnya) dari atas (kepala untuk menutupi wajah). Dan seandainya wajahnya tertutup, tentulah Ibnu Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau buruk.”

Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk menahan pandangan karena khawatir fitnah. Konsekwensinya jika aman dari fitnah, maka tidak terlarang. Hal itu dikuatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memalingkan wajah Al Fadhl sampai dia menajamkan pandangan, karena kekagumannya terhadap wanita tersebut, sehinga beliau khawatir fitnah menimpanya.

Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) pertarungan watak dasar manusia terhadapnya serta kelemahan manusia dari kecenderungan dan kekaguman terhadap wanita.

Juga terdapat (dalil) bahwa istri-istri kaum mukminin tidak wajib berhijab sebagaimana istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena (kalau memang hal itu) wajib bagi seluruh wanita, pastilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita dari suku Khats’am tersebut untuk menutupi (dirinya) dan tidak memalingkan wajah Al Fadhl.

Di dalamnya juga terdapat (dalil) bahwa menutup wajah wanita tidak wajib, Para ulama berijma’ bahwa wanita boleh menampakkan wajahnya ketika shalat, walaupun dilihat oleh laki-laki asing.” [Fathul Bari XI/8]

Perkataan Ibnu Baththal rahimahullah tersebut dibantah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, dengan alasan bahwa wanita dari suku Khats’am tersebut muhrimah (wanita yang sedang berihram).

Tetapi Syeikh Al Albani menyatakan, bahwa yang benar wanita itu bukan muhrimah (wanita yang sedang berihram), sebagaimana penjelasan di atas.
Seandainya wanita itu muhrimah (wanita yang sedang berihram), maka pendapat Ibnu Baththal itu tetap kuat. Karena wanita muhrimah itu boleh melabuhkan jilbabnya ke wajahnya di hadapan laki-laki asing, sebagaimana hadits tentang hal ini. [12] Maka hadits ini menunjukkan bahwa cadar tidaklah wajib bagi wanita, walaupun dia memiliki wajah yang cantik, tetapi hukumnya adalah disukai (sunnah).

Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga hukumnya muhkam (tetap; tidak dihapus). [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 61-64]

7. Sahl bin Sa’d berkata.

أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ نَفْسِي فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ…

Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang untuk menghibahkan diriku kepada anda.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau menaikkan dan menurunkan pandangan kepadanya. Lalu beliau menundukkan kepalanya…….” [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya].

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) bolehnya memperhatikan kecantikan seorang wanita karena berkehendak menikahinya…tetapi (pemahaman) ini terbantah dengan anggapan bahwa hal itu khusus bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau ma’shum, dan yang telah menjadi kesimpulan kami, bahwa tidak haram bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat wanita mukminat yang bukan mahram, ini berbeda dengan selain beliau. Sedangkan Ibnul ‘Arabi menempuh cara lain dalam menjawab hal tersebut, dia mengatakan, “Kemungkinan hal itu sebelum (kewajiban) hijab, atau setelahnya tetapi dia menyelubungi dirinya.” Tetapi rangkaian hadits ini jauh dari apa yang dia katakan.” [Fathul Bari IX/210]

8. ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata.

كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ

Dahulu wanita-wanita mukminat biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menutupi tubuh (mereka) dengan selimut. Kemudian (mereka) kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorangpun mengenal mereka karena gelap. [HR Bukhari dan Muslim].

Dalam riwayat lain,

وَمَا يَعْرِفُ بَعْضُنَا وُجُوْهَ بَعْضٍ

Dan sebagian kami tidak mengenal wajah yang lain. [13]

Dari perkataan ‘Aisyah, “tidak ada seorangpun mengenal mereka karena gelap” dapat difahami, jika tidak gelap niscaya dikenali, sedangkan mereka dikenali -menurut kebiasaan- dari wajahnya yang terbuka. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 65]

7. Ketika Fathimah binti Qais dicerai thalaq tiga oleh suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadanya memerintahkan agar dia ber’iddah di rumah Ummu Syuraik. Tetapi kemudian beliau mengutus seseorang kepadanya lagi dengan menyatakan,

أَنَّ أُمَّ شَرِيكٍ يَأْتِيهَا الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ فَانْطَلِقِي إِلَى ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى فَإِنَّكِ إِذَا وَضَعْتِ خِمَارَكِ لَمْ يَرَكِ فَانْطَلَقَتْ إِلَيْهِ …

Bahwa Ummu Syuraik biasa didatangi oleh orang-orang Muhajirin yang pertama. Maka hendaklah engkau pergi ke (rumah) Ibnu Ummi Maktum yang buta, karena jika engkau melepaskan khimar (kerudung, penutup kepala) dia tidak akan melihatmu. Fathimah binti Qais pergi kepadanya…[HR Muslim].

Hadits ini menunjukkan bahwa wajah bukan aurat, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan Fathimah binti Qais dengan memakai khimar dilihat oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa wajahnya tidak wajib ditutup, sebagaimana kewajiban menutup kepalanya. Tetapi karena beliau n khawatir dia melepaskan khimarnya (kerudung), sehingga akan nampak apa yang harus ditutupi, maka beliau memerintahkannya dengan yang lebih selamat untuknya; yaitu berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta. Kartena dia tidak akan melihatnya jika Fathimah binti Qais melepaskan khimar. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 65]

Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Fathimah binti Qais menyebutkan bahwa setelah habis ‘iddahnya dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kisah tentang Dajjal dari Tamim Ad Dari yang baru masuk Islam dari Nashrani. Sedangkan Tamim masuk Islam tahun 9H. Adapun ayat jilbab turun tahun 3 H atau 5 H, sehingga kejadian ini setelah adanya kewajiban berjilbab. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 66-67].

9. Abdurrahman bin ‘Abis,

سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ قِيلَ لَهُ أَشَهِدْتَ الْعِيدَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ وَلَوْلَا مَكَانِي مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ حَتَّى أَتَى الْعَلَمَ الَّذِي عِنْدَ دَارِ كَثِيرِ بْنِ الصَّلْتِ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلَالٌ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِينَ بِأَيْدِيهِنَّ يَقْذِفْنَهُ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ ثُمَّ انْطَلَقَ هُوَ وَبِلَالٌ إِلَى بَيْتِهِ

Saya mendegar Ibnu Abbas ditanya, “Apakah anda (pernah) menghadiri (shalat) ‘ied bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Dia menjawab, “Ya, dan jika bukan karena posisiku (umurku) yang masih kecil, niscaya saya tidak menyaksikannya. (Rasulullah keluar) sampai mendatangi tanda yang ada di dekat rumah Katsir bin Ash Shalt, lalu beliau shalat, kemudian berkhutbah. Lalu beliau bersama Bilal mendatangi para wanita, kemudian menasehati mereka, mengingatkan mereka, dan memerintahkan mereka untuk bershadaqah. Maka aku lihat para wanita mengulurkan tangan mereka melemparkannya (cincin, dan lainnya sebagai shadaqah) ke kain Bilal. Kemudian Beliau dan Bilal pulang ke rumahnya. [HR Bukhari, Abu Dawud, Nasai, dan lainnya. Lafazh hadits ini riwayat Bukhari dalam kitab Jum’ah]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Inilah Ibnu Abbas –di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam– melihat tangan para wanita, maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita bukan aurat, adapun selainnya wajib ditutup.”

Pengambilan dalil ini tidak dapat dibantah dengan perkataan, kemungkinan kejadian ini sebelum turunnya ayat jilbab, karena peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat jilbab. Dengan dalil, Imam Ahmad meriwayatkan (dengan tambahan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat bai’atun nisa’ (surat Al Mumtahanah : 12), padahal ayat ini turun pada Fathu Makkah, tahun 8 H, sebagaimana perkataan Muqatil. Sedangkan perintah jilbab (hijab) turun tahun 3 H atau 5 H ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Jahsy. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 67, 75]

10. Dari Subai’ah binti Al-Harits,

أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ ابْنِ خَوْلَةَ فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَكَانَ بَدْرِيًّا فَوَضَعَتْ حَمْلَهَا قَبْلَ أَنْ يَنْقَضِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ مِنْ وَفَاتِهِ فَلَقِيَهَا أَبُو السَّنَابِلِ يَعْنِي ابْنَ بَعْكَكٍ حِينَ تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا وَقَدِ اكْتَحَلَتْ (وَاحْتَضَبَتْ وَ تَهَيَّأَتْ) فَقَالَ لَهَا ارْبَعِي عَلَى نَفْسِكِ أَوْ نَحْوَ هَذَا لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ النِّكَاحَ

Bahwa dia menjadi istri Sa’d bin Khaulah, lalu Sa’d wafat pada haji wada’, dan dia seorang Badari (sahabat yang ikut perang Badar). Lalu Subai’ah binti Al Harits melahirkan kandungannya sebelum selesai 4 bulan 10 hari dari wafat suaminya. Kemudian Abu As Sanabil (yakni Ibnu Ba’kak) menemuinya ketika nifasnya telah selesai, dan dia telah memakai celak mata (dan memakai inai pada kuku tangan, dan bersip-siap). Lalu Abu As Sanabil berkata kepadanya, “Jangan terburu-buru (atau kalimat semacamnya) mungkin engkau menghendaki nikah…” [HR Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari dan Muslim].

Hadits ini nyata menunjukkan, bahwa kedua telapak tangan dan wajah atau mata bukanlah aurat pada kebiasaan para wanita sahabat. Karena jika merupakan aurat yang harus ditutup, tentulah Subai’ah tidak boleh menampakkannya di hadapan Abu As Sanabil. Peristiwa ini nyata terjadi setelah kewajiban jilbab (hijab), yaitu setelah haji wada’, tahun 10 H. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 69]

11. Atha bin Abi Rabah berkata,

قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَلَا أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى قَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي قَالَ إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ فَقَالَتْ أَصْبِرُ فَقَالَتْ إِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ فَدَعَا لَهَا

Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang wanita dari penghuni sorga?” Aku menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Itu wanita yang hitam, dia dahulu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), dan (jika kambuh, auratku) terbuka. Berdoalah kepada Allah untuk (kesembuhan) ku!”Beliau menjawab, “Jika engkau mau bersabar (terhadap penyakit ini), engkau mendapatkan sorga. Tetapi jika engkau mau, aku akan berdo’a kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita tadi berkata, “Aku akan bersabar. Tetapi (jika kambuh penyakitku, auratku) terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku agar (jika kambuh, auratku) tidak terbuka.” Maka beliau mendoakannya. [HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad]

12. Ibnu Abbas berkata,

كَانَتِ امْرَأَةٌ تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسْنَاءَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ فَكَانَ بَعْضُ الْقَوْمِ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ لِئَلَّا يَرَاهَا وَيَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ فَإِذَا رَكَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ إِبْطَيْهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنْكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ )

Dahulu ada seorang wanita yang sangat cantik shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sebagian orang laki-laki maju, sehingga berada di shaf pertama agar tidak melihat wanita itu. Tetapi sebagian orang mundur, sehingga berada di shaf belakang. Jika ruku’, dia dapat melihat (wanita itu) dari sela ketiaknya. Maka Allah menurunkan (ayat), وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ [HR Ash Habus Sunan, Al Hakim, dan lainnya. Dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 2472. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 70].

Hadits ini menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.

13. Ibnu Mas’ud berkata

رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَأَتَى سَوْدَةَ وَهِيَ تَصْنَعُ طِيبًا وَعِنْدَهَا نِسَاءٌ فَأَخْلَيْنَهُ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ رَأَى امْرَأَةً تُعْجِبُهُ فَلْيَقُمْ إِلَى أَهْلِهِ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sehingga wanita itu mempesona beliau, maka beliau mendatangi Saudah (istri beliau), yang sedang membuat minyak wangi dan di dekatnya ada banyak wanita. Maka wanita-wanita itu meninggalkan beliau, lalu beliau menunaikan hajatnya. Kemudian beliau bersabda: “Siapapun lelaki yang melihat seorang wanita, sehingga wanita itu mempesonanya, maka hendaklah dia pergi kepada istrinya, karena sesungguhnya pada istrinya itu ada yang semisal apa yang ada pada wanita (yang mempesonakan) itu. [HR. Muslim, Ibnu Hibban, Darimi, dan lainnya. Lafazh ini riwayat Darimi. Lihat takhrijnya di dalam Ash-Shahihah no:235]

Sebagaimana hadits sebelumnya, hadits ini nyata menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.

14. Dari Abdullah bin Muhammad, dari seorang wanita di antara mereka yang berkata,

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا آكُلُ بِشِمَالِي وَكُنْتُ امْرَأَةً عَسْرَاءَ فَضَرَبَ يَدِي فَسَقَطَتِ اللُّقْمَةُ فَقَالَ لَا تَأْكُلِي بِشِمَالِكِ وَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكِ يَمِينًا أَوْ قَالَ وَقَدْ أَطْلَقَ اللَّهُ يَمِينَكِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku ketika aku sedang makan dengan tangan kiriku, karena aku seorang wanita yang kidal. Maka beliau memukul tanganku sehingga sesuap makanan jatuh. Lalu beliau bersabda, “Janganlah engkau makan dengan tangan kirimu, sedangkan Allah telah menjadikan tangan kanan untukmu.” Atau bersabda, “Sedangkan Allah telah menyembuhkan tangan kananmu.” [HR Ahmad dan Thabarani. Dihasankan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 72]

15. Berlakunya Perbuatan Ini Setelah Wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan tentang perbuatan sebagian sahabiyat yang membuka wajah dan telapak tangan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan hal ini terus berlangsung setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Sebagaimana ditunjukkan dengan 16 riwayat yang dibawakan Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah [hal. 96-103].

Ini semua menguatkan, bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukanlah aurat sehingga wajib ditutup.

16. Anggapan terjadinya ijma’ tentang wajah dan telapak tangan merupakan aurat yang wajib ditutup, tidaklah benar. Bahkan telah terjadi perselisihan diantara ulama. Pendapat tiga imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’I), menyatakan bukan sebagai aurat. Ini juga merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad. Diantara ulama besar madzhab Hambali yang menguatkan pendapat ini ialah dua imam; yakni Ibnu Qudamah dan Imam Ibnu Muflih. Ibnu Qudamah t menyatakan dalam Al Mughni, “Karena kebutuhan mendorong telah dibukanya wajah untuk jual-beli, dan membuka telapak tangan untuk mengambil dan memberi.” [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 7-9].

17. Tambahan
Dalil-dalil shahih di atas dengan tegas menunjukkan bahwa pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajah dan telapak tangan wanita biasa terbuka. Berarti wajah dan telapak tangan wanita dikecualikan dari kewajiban untuk ditutup.

Sebagian keterangan di atas juga menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab (jilbab). Sehingga menunjukkan dibolehkannya membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita tidak terhapus oleh ayat hijab.

Kemudian, seandainya tidak diketahui bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab/jilbab, maka hal itu menunjukkan dibolehkan membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita. Sedangkan menurut kaedah, bahwa setiap hukum itu tetap sebagaimana sebelumnya sampai ada hukum lain yang menghapuskannya. Maka orang yang mewajibkan wanita menutup wajah wajib membawakan dalil yang menghapuskan bolehnya wanita membuka wajah dan telapak tangan. Adakah hal itu? Bahkan yang didapati ialah keterangan dan dalil yang memperkuat hukum asal tersebut.

KESIMPULAN
1. Wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh ummahatul mukminin (para istri Rasulullah) dan sebagian sahabiyyat (para wanita sahabat). Sehingga merupakan sesuatu yang disyari’atkan dan keutamaan.

2. Membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian sahabiyyat. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya.

3. Seorang muslim tidak boleh merendahkan wanita yang menutup wajahnya dan tidak boleh menganggapnya berlebihan.

4. Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi diri dari laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum. Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat yang harus ditutup.

Inilah jawaban kami tentang masalah cadar bagi wanita. Mudah-mudahan kaum muslimin dapat saling memahami permasalahan ini dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bishshawwab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VI/1423H/2002. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

almanhaj.or.id
muslimah.or.id
_______
Footnote
[1]. Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Isma’il Al Qadhi. Dishahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59-60, Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah, Cet. I. Tetapi berbagai riwayat dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ini dilemahkan oleh Syeikh Mushthafa Al Adawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa. Tentang hal ini terdapat riwayat-riwayat shahih dari perkataan sebagian tabi’in. Wallahu a’lam
[2]. Riwayat ini dishahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59-60
[3]. Al Muhalla III/216-217, Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 73
[4]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 72-73
[5]. HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1150, Muslim, Abu Dawud (4816). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah 6/11-13
[6]. HR Abu Dawud, Thabarani, Ibnu ‘Adi, dari jalan Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari ‘Aisyah. Ibnu ‘Adi berkata, “Terkadang Khalid mengatakan dari Ummu Salamah, sebagai ganti dari ‘Aisyah.” Sanad hadits ini lemah, sebagaimana Abu Dawud berkata setelah meriwayatkannya, “Hadits ini mursal, Khalid bin Duraik tidak bertemu ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Demikian juga perawi bernama Sa’id bin Basyir lemah
[7]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 58
[8]. Tetapi kemungkinan riwayat ini sama sanadnya dengan riwayat di atas, yaitu Qatadah mendapatkan hadits ini dari Khalid bin Duraik, sehingga tidak dapat menguatkan. Wallahu a’lam
[9]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59
[10]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59
[11]. Tetapi dalil ini dibantah dengan penjelasan bahwa hadits ini yang mahfudz (shahih) dengan lafazh min safilatin nisa’ (dari wanita-wanita rendah) sebagai ganti lafazh sithatin nisa’ (dari wanita dari tengah-tengah). Yang hal itu mengisyaratkan wanita tersebut adalah budak, sedangkan budak tidak wajib menutupi wajah. Atau kejadian ini sebelum turunnya ayat hijab. Wallahu a’lam
[12]. Lihat haditsnya pada edisi terdahulu, pada dalil ke 13 yang mewajibkan cadar
[13]. HR Abu Ya’la di dalam Musnadnya. Dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Jilbab Mar’atil Muslimah, hal. 66.