Showing posts with label kisah. Show all posts
Showing posts with label kisah. Show all posts

[kisah] tentang shalat - gus mus



Apa jawaban Gus Mus menjawab pertanyaan Umar Kayam mengenai shalat?

Profesor Umar Kayam, guru besar Fakultas Sastra (atau FIB sekarang) Universitas Gadjah Mada sekaligus sang penulis novel Para Priyayi, adalah seorang abangan yang bangga dengan identitasnya, a proud abangan. Melalui A. A. Navis, pada tahun 1994 ia dan istrinya secara tak terduga mendapat undangan untuk naik haji dari Departemen Agama RI.

Mula-mula ia tertawa saja, “Wong jelas-jelas aku ini abangan, kata orang-orang salat saja enggak, kok disuruh naik haji? Kalau langsung menjalankan rukun kelima, berarti Islamku langsung katam ya?,” tertawanya membahana.

Tapi atas berbagai pertimbangan, tawaran untuk menjadi haji “abidin” (atas biaya dinas) itu akhirnya dia terima. Setelah beberapa bulan lewat dan waktu naik haji mendekat timbul masalah.

Bu Kayam yang sebetulnya memang sudah cukup lama menyimpan “keprihatinan” mengenai religiusitas suaminya, akhirnya memanfaatkan masa penantian berangkat haji itu sebagai kesempatan yang tak boleh disia-siakan.

“Pak, njenengan kan sudah mau berangkat haji. Mbok mari, segera nglakoni (menjalankan salat). Masak nanti sudah haji tetap nggak salat, kan ya lucu, aneh…,” ujar istri Umar Kayam itu pada suatu sore yang cerah di teras rumahnya di Bulaksumur.

“Apa maksudmu?” jawab Umar Kayam tenang sambil memandang langit timur setengah terayun-ayun di kursi goyang singgasananya.

“Lah ya nglakoni salat lima waktu seperti orang-orang Islam pada umumnya,” istrinya menegaskan.

“Rumangsamu selama ini aku nggak salat?” Umar Kayam kini duduk dengan posisi tegak. Kursi goyangnya berhenti berayun-ayun.

“Lah, buktinya?”

“Sebentar, sebentar, bagimu salat itu apa?”

“Salat ya salat. Bapak nggak usah memperumit masalah sederhana. Waktunya Magrib ya Magrib, waktunya Isya ya salat Isya, Subuh ya Subuh. Salat ya salat,” tangan Bu Kayam mulai sibuk memperagakan gerak orang sembahyang.

Umar Kayam hanya tersenyum.

“Kamu tahu nggak, secara etimologis, salat itu artinya “hubungan”, “komunikasi”, “kontak”. Jangan hanya karena aku tidak melakukan gestur seperti yang kamu lakukan, lalu aku dianggap tidak menjalin hubungan dengan Gusti Allah. Mungkin kamu nggak tahu, tapi aku ini sebetulnya sering salat. Ketika aku duduk thenguk-thenguk di teras begini, aku sering shalat. Ketika aku menulis makalah untuk seminar, aku sering sambil shalat. Ketika mengajar para mahasiswa, aku juga salat. Hubunganku dengan Gusti Allah itu bersifat langsung, ces pleng, tidak perlu diberita-beritakan, tidak perlu dipamer-pamerkan pada orang lain. Kamu saja yang nggak paham,” Umar Kayam menjawab secara telak.

“Oalah, Pak, Pak. Wong diingatkan kok malah terus kasih kuliah panjang lebar,” Bu Kayam akhirnya meninggalkan teras dan masuk ke dalam.

Justru karena istrinya mengalah, setelah perdebatan kecil itu rupanya pikiran Umar Kayam jadi terganggu. Suatu hari berkunjunglah mereka ke Rembang, menemui Kiai Mustofa Bisri alias Gus Mus.

Setelah bicara ngalor-ngidul, akhirnya Umar Kayam mengajukan pertanyaan yang mengganggu pikirannya, tentu setelah terlebih dahulu memberikan konteks perdebatan kecil dia dengan istrinya.

“Jadi menurut panjenengan, mana yang lebih benar, apakah salat versi istri saya yang secara lahirian tampak jengkang-jengking tiap lima waktu itu tapi pikirannya sering nggak karu-karuan kemana-mana, belanja, arisan dan seterusnya; atau salat versi saya, yang tidak kelihatan di mata orang-orang tapi sebetulnya secara batin justru terhubung langsung dan berkomunikasi akrab dengan Sang Khaliq?”

Semua terdiam menunggu. Ruang tamu Gus Mus tiba-tiba hening beberapa waktu.

“Karena panjenengan adalah Profesor, saya akan memberikan jawaban terbuka. Silakan nanti dipikirkan sendiri kesimpulannya. Untuk memahami soal salat ini, saya akan pakai metafor sederhana saja: buah! Setahu saya, yang namanya buah—buah apa saja: pisang, mangga, jeruk, apel dan lain-lain—tidak ada yang cuma terdiri dari kulit saja, atau hanya isinya saja. Pisang itu pasti selalu ada kulit dan isinya sekaligus. Pisang adalah pisang karena dia ada kulitnya dan juga ada isinya. Salat itu, menurut saya, kira-kira begitu,” kata Gus Mus.

Sampai beberapa waktu semua masih terdiam mencerna penjelasan itu.

(sederhananya ada yg shalat hanya kulitnya saja yakni cuma gesture naik turunnya, ada yg huyam batinnya saja. dan yg gusmus sampaikan sholat yg benar adalah ketika ada keduanya yaitu gesture dan batinnya.. yakni buah. buah itu ada kulit dan ada isinya, jika tidak ya bukan buah. bukan sholat.)

“Sampean memang benar-benar kiai, Gus,” kata Umar Kayam kemudian dan semua pun tertawa.

Ketika mereka kembali ke Yogya, istri Umar Kayam merasa telah mendapat amunisi sebanyak-banyaknya. Sepanjang jalan pulang tak henti-hentinya ia bicara “Makanya….” “Aku sudah bilang apa?….”

Umar Kayam hanya diam saja. Pikirannya kini kian terganggu.

“Pisang adalah pisang karena dia ada kulitnya dan juga ada isinya” metafor Gus Mus tentang salat itu kembali terngiang-ngiang di telinga Umar Kayam. Itu berlangsung sampai beberapa hari, bahkan beberapa minggu.

Suatu saat, dengan pikiran yang masih terganggu, ia jalan-jalan di Malioboro. Tanpa sengaja dilihatnya seseorang yang menjual ukiran kayu sederhana bertulis “Sopo durung solat?” (Siapa belum salat?). Tanpa pikir panjang, dibelinya ukiran itu dan begitu sampai rumah segera dipajangnya ukiran itu di dinding ruang tengah.

Sejak itu, tiap kali ia lewat ruang tengah dan melihat ukiran tadi, Umar Kayam berjalan sambil tunjuk jari, “kulo!” (saya)

Sumber: Teks Odrep Zarathustha
Grup Facebook "TEMAN MAIYAH" Sinau Bareng Cak Nun & Kiai Kanjeng

[kisah] wayang mahabharata - karna


Dalam epos Mahabrata itu cerita Karna adalah kisah paling tragis dan mengharukan, Karna sendiri walaupun berada di kubu Kurawa yg di kenal sebagai kubu kejahatan, tapi Karna bukanlah sosok yg jahat dia bergabung ke sisi kegelapan karena hidupnya di penuhi kemalangan dan justru karena keangkuhan kubu Pandawa yg selama ini selalu di simbolkan sebagai kubu kebaikan yg akhirnya membuat dia rela mati demi kubu kejahatan kurawa.
----------------------------------------------------------------------------------------

Cerita tragis Karna sendiri di mulai saat dia mulai di lahirkan, Karna sendiri adalah anak pertama Kunti yg merupakan ibu para pandawa dengan dewa Surya, Karena Surya adalah seorang dewa tentunya dia tidak bisa hidup dengan Kunti yg manusia, oleh sebab itu kunti akhirnya membuang Karna karena malu dia melahirkan bayi sebelum menikah dan tidak memiliki suami. Karna bayi di buang ke aliran sungai yg deras, oleh ibunya Kunti di sertai pakaian perang lengkap dengan anting-anting dan kalung pemberian dewa Surya. Kunti pasrah anak pertama yg tidak di inginkannya itu apakah bisa selamat atau tidak di telan derasnya sungai.

Tapi takdir berkata lain Karna selamat dari arus sungai yg deras itu lalu dia di pungut anak oleh seorang keluarga kusir yg bernama Radha, Radha sendiri membesarkan Karna dengan penuh kasih sayang seperti anaknya sendiri. Tapi Radha pun tidak tahu klo karna adalah keturunan dewa Surya dan anak dari kunti yg nantinya melahirkan kesatria besar pandawa.

Saat tumbuh remaja Karna sangat berkeinginan menjadi kesatria, dia kemudian mendatangi guru Dorna yg saat itu terkenal sebagai guru para kesatria pandawa dan kurawa, tapi sayang guruDorna menolaknya mentah2 karena walaupun Karna cerdas dan berbakat tapi dia hanya anak kusir yg merupakan kasta rendah bukan keturuanan kasta tinggi seperti kesatria pandawa dan kurawa.

Dengan kecewa Karna mencari guru lain yaitu guru Parasurama. Parasurama sendiri adalah brahmana sakti yg justru menolak mengajari para kasta kesatria. kebalikan dari guru Dorna yg hanya mau mengajari para kasta kesatria. Saat di tanya Parasurama apakah dia dari kasta kesatria karna menjawabnya bukan, karena memang Karna tidak tahu dia keturunan Dewa Surya dan Kunti, akhirnya Parasurama menerimanya menjadi muridnya

Terkesan dengan kecerdasan dan bakatnya Karna, Parasurama menjadikan dia murid kesayangan sehingga diantara semua muridnya hanya Karna yg diajarkan jurus dan mantra pamungkas. Tapi suatu saat saat Parasurama tidur di pangkuan Karna. Seekor kalajengking mengigit Karna. Tak ingin membangunkan gurunya, Karna rela diam menahan rasa sakit akibat gigitan kalajengking tersebut. Saat Parasurama bangun dia terkejut melihat muridnya sanggup menahakan rasa sakit tanpa membangunkan dirinya. Akhirnya Parasurama murka karena dia tahu tidak mungkin Karna bukan kasta kesatria, karena hanya para kesatria yg bisa berkorban dan menahan sakit untuk orang lain.

Dalam kemurkaanya ini Parasurama mengusir dan mengutuk Karna akan melupakan semua jurus dan mantra pamungkas yg pernah di ajarkanya saat pertarungan hidup dan matinya kelak, karena Parasurama merasa sang murid sudah membohonginya, padahal Karna sendiri tidak tau dia seorang keturunan Kesatria.

Karna bingung dan sedih karena di usir guru kesayangannya tanpa sebab yg jelas, di tengah kesedihannya ini Karna mengendarai keretanya tak tentu arah untuk mencari guru atau orang yg mau menerimanya, naas di tengah jalan Karna menabrak sapi milik Brahmana sampai mati, melihat sapinya mati Brahmana murka dan mengutuk Karna juga, kelak roda keretanya akan terbenam ke dalam lumpur ketika ia berperang melawan musuhnya yang paling hebat.

Sampai karna tiba di sebuah kota bernama Hastinapura dimana saat itu di Hastinapura guru Dorna yg melatih kesatria Pandawa dan Kurawa memamerkan kesaktian para murid2nya kepada rakyat Hastinapura. Guru Dorna sendiri sangat membanggakan murid kesayangannya Arjuna yg sangat lihai memanah, penasaran dengan kehebatan Arjuna, Karna tertarik untuk menantang Arjuna tapi sayang saat ditanya apakah Karna dari golongan Kesatria, Karna menjawab dia bukan dari golongan kesatria tapi hanya anak seorang kusir, dan hal ini membuat karna menjadi bahan olok2an pandawa dan penduduk Hastinapura, karena tidak pantas anak kasta rendah menantang kasta tinggi kesatria. Karna hanya bisa tertunduk sedih karena dia memang menyadari statusnya dia bukan kasta tinggi hanya anak seorang kusir.

Tapi saat kaum pandawa dan penduduk Hastinapura mengolok2 Karna, Duryodana putra tertua Kurawa justru membela Karna, dan mengatakan bahwa keberanian dan kehebatan tidak di nilai dari kasta dan keturunan siapa, tapi pembelaan Duryodana sendiri tidak cukup karena menurut penduduk Hastinapura maupun guru Dorna memang tidak pantas anak kasta rendah menantang kasta Kesatria dan Karna harus di hukum karena kelancanganya ini.

Murka karena pembelaanya tidak di terima Duryodana mendesak ayahnya yg merupakan raja Hastinapura untuk mengangkat Karna sebagai seorang bangsawan dan raja bawahan raja Hastinapura untuk menyelamatkan harga diri dan menghindari hukuman bagi Karna. Akhirnya ayah Duryodana sendiri setuju mengangkat Karna sebagai bangsawan dan raja bawahan kerajaan Hastinapura.

Pembelaan Duryodana ini nantinya sangat membekas di diri Karna, yg membuatnya sangat setia kepada Duryodana, walaupun banyak orang mengatakan Duryodana adalah pemimpin jahat tapi bagi Karna dia seorang teman yg baik.

Suatu ketika terdengarlah sayembara di kerajaan Pancala untuk memperebutkan Drupadi yg merupakan putri tercantik kerajaan itu. Baik pihak pandawa maupu kurawa tertarik mengikuti sayembara ini, sayembara memperebutkan Drupadi ini sendiri adalah perlombaan memanah boneka ikan yang berputar di atas arena, namun pesertanya tidak boleh melihatnya secara langsung, melainkan melalui bayangannya yang terpantul di dalam baskom berisi minyak di bawahnya, selain itu memanah ikan ini harus di lakukan dengan busur sakti kerajaan Pancala yg sangat berat, bahkan Duryodana yang perkasa sekalipun tidak bisa mengangkat busur tersebut, melihat kesulitan yg di alami teman baiknya dan untuk menyelamatkan harga diri Kurawa, Karna akhirnya maju mewakili Kurawa dan berhasil mengangkat busur sakti Pancala ini karena kekuatan dari pakaian perang dengan anting-anting dan kalung pemberian dewa Surya dulu saat dia masih bayi, bahkan Karna bisa memanah tepat mengenai boneka ikan tersebut.

Melihat hal itu Drupadi terkejut sekaligus marah karena Drupadi tidak sudi menjadi Istri anak seorang kusir walaupun Karna sudah diangkat bangsawan, akhirnya Karna marah sekaligus sedih karena sekali lagi statusnya yg awalnya anak seorang kusir membuatnya di hina Drupadi walaupun memenangkan sayembara itu, nantinya Drupadi meminta ayahnya untuk mencarikan orang yg bisa memanah sebaik Karna, di saat itulah muncul Arjuna yg kemampuannya sama hebatnya dengan Karna tapi memiliki kasta tinggi dan lebih tampan dari Karna, akhirnya Drupadi lebih memilih menjadi istri Arjuna ketimbang jadi istri Karna,

Nantinya saat perjudian antara kurawa dan pandawa, Yudistira anak tertua pandawa justru mempertaruhkan Drupadi, dan sialnya pandawa kalah dalam perjudian ini sehingga Drupadi menjadi milik kurawa, kesal karena drupadi pernah menghinanya sebagai anak kusir, Karna balas menghina Drupadi sebagai pelacur karena memiliki 5 suami pandawa. Mendengar hinaan Karna ini, Arjuna bersumpah suatu saat akan membunuh Karna dengan tanganya sendiri, Karna pun bersumpah yg sama untuk membunuh Arjuna terlebih dahulu karena dulu pernah membuatnya terhina dan merebut Drupadi dari tangannya.

Nantinya melihat hal ini, dewa Indra yg merupakan pemimpin para dewa sekaligus ayah Arjuna gamang karena tau klo Karna adalah anak dewa Surya yg di bekali dengan pusaka pakaian perang dengan anting-anting dan kalung sakti pemberian dewa Surya, selain itu juga dewa Indra tau klo Karna sebenarnya adalah kakak tertua semua pandawa, hal ini tidak mungkin bisa di kalahkan Arjuna, Oleh sebab itu nantinya dewa Indra menyamar menjadi pengemis dan meminta pusaka Karna yg membuatnya tidak bisa di tembus senjata apapun, Karna dengan suka rela menyerahkan pusakanya kepada pengemis yg memintanya itu, Padahal sebelumnya ayahnya sendiri dewa Surya sudah memperingatkan Karna dalam mimpinya bahwa pengemis itu adalah dewa Indra ayah arjuna, Tapi karena Karna pada dasarnya orang baik dan sudah bersumpah menjadi dermawan dia tidak memperdulikan peringatan dewa Surya itu, dan nantinya ini kesalahan fatal Karna, karena dia terlalu baik. tapi sebagai pemimpin para dewa Indra juga dewa yg adil, terkesan dengan kebaikan Karna walaupun sudah di peringatkan ayahnya dewa Surya, dewa Indra nantinya mengganti pusaka Karna yg di serahkan kepada dirinya dengan senjata pamungkas yg bernama Vasavi, Vasavi sendiri adalah tombak sakti yg begitu di lepaskan bisa membunuh siapapun baik manusia, raksasa, maupun dewa sekalipun tanpa bisa di hentikan, tapi Vasavi hanya bisa sekali digunakan setelah itu lenyap.

Nantinya saat masa pembuangan pandawa selesai karena kalah bermain judi dengan kurawa dulu, pihak pandawa menginginkan kerajaan Indraprastha yg dulu di pertaruhkan pandawa untuk di kembalikan, tapi pihak kurawa menolaknya mentah2 dan menantang pihak pandawa klo ingin memiliki kembali kerajaan Indraprastha mereka harus merebutnya dalam perperangan.

Nantinya karena merasa kekuatan pandawa yg cuman 5 orang raja akan melawan pihak kurawa yg beranggota 100 orang raja, Krisna yg merupakan supir kereta perang Arjuna sekaligus merupakan penjelmaan dewa Wisnu (satu dari 3 dewa terkuat dalam mitologi hindu) mendatangi Karna secara diam2 untuk menjelaskan asal usul Karna yg sebenarnya masih saudara para pandawa, Krisna sendiri berharap Karna mau berpindah pihak karena Krisna tau salah satu kesatria terkuat dalam barisan kurawa adalah Karna, jadi dengan berpindahnya Karna justru akan sangat melemahkan kurawa, tapi Karna menolak Krisna karena tidak percaya dengan Krisna, karena rayuan Krisna gagal, akhirnya Kunti sebagai ibu para pandawa sekaligus ibu kandung Karna sendiri mendatangi anaknya ini dan mengatakan fakta bahwa Karna adalah anak kandung pertamanya. Mendengar penjelasan Kunti ini karna seperti di sambar petir karena mengetahui faktanya bahwa pandawa yg selama ini dia anggap musuh bebuyutan yg selalu menghinanya justru adalah para adik2nya, Tapi sebagai seorang kesatria sejati Karna pun menolak tawaran Kunti karena dia sudah bersumpah setia kepada Duryodana dan kurawa yg dulu mengangkat martabatnya serta menyelamatkannya dari hukuman. Tapi di sisi lain Karna juga tidak ingin melanggar bakti kepada Ibu kandungnya sendiri, walaupun sudah membuangnya di saat dia masih kecil, Karna akhirnya berjanji kepada Kunti tidak akan membunuh adik2nya, kecuali Arjuna yg dulu membuatnya terhina dan merebut Drupadi dari tangannya, selain itu Karna juga tidak mau memakai nama julukan Kuntiya (anak Kunti). Karna justu tetap memakai nama panggilan Sutaputra (anak kusir) atau Radheya (anak Radha) sebagai penghormatan kepada keluarga Radha yg dulu membesarkanya seperti anak kandungnya sendiri.

Singkat cerita saat meletusnya perang Baratayudha Karna memenuhi janjinya kepada kunti dia sama sekali tidak mau melukai adik2nya seperti Yudhistira, Bima, Nakula, dan Sadewa, walaupun Karna bisa dengan mudah mengalahkan mereka berempat. Tapi saat Karna berhadapan dengan Arjuna. Pemanah tampan yg dikusiri Krisna yg merupakan jelmaan Wisnu. Karna memburunya karena masih sakit hati dengan penghinaan dulu dan merebut Drupadi dari tanganya

Di sisi lain Arjuna pun ingin membunuh Karna, tapi Krisna yg merupakan jelmaan dewa Wisnu tau klo karna memiliki senjata pamungkas yg bernama Vasavi yg bila di lepaskan pasti bisa membunuh Arjuna bahkan tidak bisa di hentikan oleh Wisnu sekalipun, itu sebabnya Krisna membawa kabur Arjuna agar tidak berhadapan dengan Karna. Karena sibuk mengejar Arjuna, karna lupa melindungi pasukan kurawa terutama Duryodana, naas Duryodana terluka parah di hajar Gatotkaca putra Bima yg merupakan seorang raksasa sakti kebal senjata. Melihat Duryodana terluka parah Karna berhenti mengejar Arjuna dan menolong Duryodana dari amukan Gatokaca, dalam keadaan terluka parah Duryodana meminta Karna untuk mengeluarkan senjata Vasavi untuk membunuh raksasa gatotkaca yg kebal senjata itu. Karena kesetiaanya dengan Duryodana akhirnya Karna melepaskan Vasavi untuk membunuh Gatotkaca, dan tewaslah Gatotkaca terkena senjata sakti pemberian dewa Indra itu.

Mengetahuai senjata Vasavi sudah dilepaskan Karna untuk membunuh Gatotkaca, Krisna berbalik membawa Arjuna untuk menghadapi Karna, karena Krisna tau Karna hanya bisa sekali saja memakai Vasavi sebagai barter pusaka kebal senjatanya dulu dan ini kesempatan bagus untuk membunuh Karna.

Saat pertarungan dengan Karna ini selain Arjuna di bantu Krisna yg juga merupakan jelmaan dewa Wisnu, Kutukan kepada Karna dulu juga terjadi, roda kreta Karna tiba2 terbenam lumpur persis seperti kutukan Brahmana dulu, saat mencoba mengangkat roda kretanya yg terbenam lumpur dari jauh kereta Arjuna menyerbu mendekat, di kreta tersebut Krisna mengatakan kepada Arjuna inilah saat yg tepat untuk membunuh Karna karena Krisna tau kutukan Brahmana sedang berlangsung dan tidak lama lagi kutukan guru Parasurama juga akan mengenai Karna juga, tapi Arjuna masih ragu karena membunuh kesatria musuh yg sedang tidak siap melanggar kode etik para kesatria, tapi Krisna mengompori Arjuna agar segera membunuh Karna klo tidak dia yg akan mati dan mengingatkan bagaimana Karna membunuhi pasukan pandawa yg di dalamnya juga ada anak Arjuna juga, akhirnya Arjuna terpancing provokasi Krisna, dan benar saja perkiraan Krisna, walaupun melihat kereta Arjuna mendekat sekaligus melihat Arjuna sudah mengarahkan panahnya kepada dirinya, Karna tiba2 lupa dengan mantra dan jurus sakti untuk menghindar yg di ajarkan gurunya dulu, selain itu Karna juga ingat pusaka kebal senjata yg dulu di berikan ayahnya dewa Surya sudah dia berikan kepada dewa Indra sebagai barter dengan senjata Vasavi yg dipakainya membunuh Gatotkaca.

Akhirnya Karna sadar, inilah waktu ajalnya menjemput. dia pasrah saat anak panah sakti Pasopati punya Arjuna menembus di lehernya. Karna pun menghembuskan nafas terakhir.

Melihat hal ini Kunti yg merupakan ibu para Pandawa menangis sejadi2nya, para pandawa yg bingung mendatangi ibu mereka dan bertanya kenapa ibu mereka justru menangisi kematian Karna musuh besar mereka. Di saat itulah Kunti menjelaskan klo sebenarnya Karna adalah kakak tertua dari semua pandawa yg dulu pernah dia buang, mendengar penjelasan ibunya para pandawa bagai di sambar petir karena sudah membunuh saudara mereka sendiri yg awalnya mereka benci dan hina2 hanya seorang anak kusir. Bahkan Arjuna sangat terpukul sampai tidak mau lagi berperang dengan kurawa. Tapi nasi sudah menjadi bubur, Karna sudah tewas di tangan Arjuna.

Pada akhirnya Karna adalah sosok baik yg terpaksa beralih kepada kubu gelap, karena dia ditolak kubu terang dan di perlakukan tidak adil oleh para dewa2.

-------------------------------------------------------------------------------
Referensi :

https://en.wikipedia.org/wiki/Karna
https://www.indiatimes.com/…/11-lesser-known-stories-about-…
http://www.karna.org/story_behind_karna.htm
http://isha.sadhguru.org/…/yoga-medi…/history-of-yoga/karna/
https://www.ancient.eu/Mahabharata/
https://id.wikipedia.org/wiki/Karna
https://www.ancient.eu/Kauravas/
https://www.ancient.eu/Arjuna/
Grup FB Ensiklopedia Bebas

Credit :
Scientia Potentia Est.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=792093464334375&id=100006011865594

[kisah] sang mistikus


Mereka menyebutnya sang Mistikus—sosok lelaki yang menjalani hidupnya seorang diri di rumahnya yang sunyi—orang yang nyaris tak pernah terdengar suaranya, apalagi terlihat wajah dan sosoknya. Tetapi orang-orang di sana tahu lelaki itu hidup, meski mereka tak pernah yakin bagaimana cara lelaki itu hidup.

Sang Mistikus tidak pernah terlihat keluar rumah untuk bekerja sebagaimana masyarakat di sekitarnya. Dia hanya menjalani hidupnya di dalam rumah dan sekitar halamannya, dan orang-orang kadang sempat menyaksikannya sedang bersenandung di bawah pohon, seiring nyanyian burung-burung.

Mereka menyebutnya sang Mistikus—manusia aneh yang tidak pernah bersentuhan dengan masyarakatnya, tetapi juga tak pernah mengganggu satu pun manusia. Beberapa orang yang hidup di daerah itu berani bersumpah pernah melihat sang Mistikus tersenyum sendiri, atau tertawa sendiri, atau bicara sendiri, seperti orang gila. Tetapi mereka juga tak pernah yakin apakah orang aneh itu memang gila, ataukah hanya setengah gila.

Yang jelas, lelaki itu aneh—dan karena itulah mereka menyebutnya sang Mistikus, karena mereka bahkan tidak pernah tahu siapa namanya. Mereka berpikir, sebutan itu sepertinya cocok untuk lelaki itu, dan entah bagaimana caranya, sebutan itu terkenal di daerah mereka.

Suatu hari, sebuah pesta perkawinan diadakan di pemukiman itu, dan beberapa penduduk di sana berinisiatif mengundang sang Mistikus.

“Mungkin, dengan adanya pesta perkawinan ini, dia akan mau bergabung dengan kita,” ujar sang Ketua Masyarakat di sana.

Jadi, beberapa lelaki kemudian pergi ke rumah sang Mistikus, membawa selembar undangan dari sang pemilik pesta. Mereka memasuki halaman rumah sang Mistikus, dan tiba-tiba merasakan kedamaian sunyi yang belum pernah mereka rasakan.

Sambil memberanikan diri, seorang dari mereka mengetuk pintu rumah sang Mistikus, dan pintu segera terbuka. Lelaki itu—sang Mistikus—menyambut mereka dengan wajah datar. Dan orang-orang yang datang ke sana tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka memperhatikan wajah lelaki misterius itu, agar setidaknya mereka dapat bercerita pada tetangga dan kawan-kawannya, bahwa mereka pernah melihat rupa sang Mistikus.

Seorang dari mereka kemudian mengangsurkan undangan pesta perkawinan, dan berkata dengan sopan, “Tuan, kami ke sini untuk mengundang Tuan ke acara pesta yang diadakan di rumah warga kami. Jika Tuan berkenan, ini undangannya.”

Sang Mistikus menerima kartu undangan itu, tetapi tidak melihatnya. Ia hanya bertanya dengan datar, “Pesta apa?”

“Pesta perkawinan, Tuan. Ada warga kami yang menikahkan putra-putrinya, dan malam ini diadakan pesta untuk mereka. Kami akan gembira jika Tuan berkenan menghadiri pesta itu.”

Mata sang Mistikus meredup, dan dengan tangan gemetar dia menyerahkan kembali kartu undangan itu. “Maafkan aku,” katanya lirih. “Aku tidak bisa menerima undangan ini. Sampaikan pada sepasang mempelai yang menikah malam ini, aku turut berduka untuk mereka.”

Orang-orang yang membawa undangan itu kebingungan—dan merasa salah dengar.

“Tuan…” seorang dari mereka mencoba bicara.

Tapi sang Mistikus mengangkat tangannya. “Pulanglah.” Setelah itu ia berkata dengan suara yang tertahan, “Aku berduka untuk mereka. Aku berduka untuk mereka…”

.
.

Empat bulan kemudian, seorang lelaki di pemukiman itu meninggal dunia. Anak sulung lelaki itu ingin pemakaman ayahnya dihadiri sang Mistikus, tetapi ia tidak yakin sang Mistikus mau menghadiri pemakaman ayahnya. Karenanya, dia pun meminta seorang tetangganya untuk pergi menemui sang Mistikus, dengan harapan sang Mistikus memenuhi permintaannya.

Si tetangga memahami keinginan si Putra Sulung. Maka ia pun pergi ke rumah sang Mistikus bersama dua temannya. Ia sendiri ingin tahu seperti apa nanti reaksi sang Mistikus ketika mendengar berita kematian. Kabar tentang pernyataannya yang aneh empat bulan lalu ketika diberi undangan perkawinan telah menyebar, dan membuat orang-orang kebingungan. Karenanya, kali ini ia ingin tahu apa yang akan dikatakan sang Mistikus terhadap kematian.

Pagi itu sang Mistikus sedang berdiri di bawah pohon di halaman rumahnya, dan dia menyambut kedatangan tiga lelaki itu.

“Tuan,” ucap salah satu dari mereka, “saya ke sini untuk mengabarkan berita kematian salah satu warga kami. Putra sulung almarhum mengharapkan Tuan ikut mengantarkan jenazah ayahnya, dan kami semua akan mengiringi jika Tuan berkenan mengabulkan permintaan putra almarhum.”

Sang Mistikus tersenyum—sesungging senyuman penuh kasih, seperti senyum seorang ayah ketika mendengar anaknya mendapatkan penghargaan. Kelak, tiga orang lelaki itu berani bersumpah bahwa senyum sang Mistikus pagi itu adalah senyum paling bersinar yang pernah mereka saksikan.

“Tentu saja aku akan datang,” ujar sang Mistikus dengan lembut. “Ketika salah satu dari kita menerima pembebasan atas belenggunya, kita patut bersuka cita untuknya. Berbahagialah untuk almarhum. Berbahagialah untuk jiwa yang terbebaskan.”

Jadi begitulah. Dengan wajah kebingungan, ketiga lelaki itu mengiringi langkah sang Mistikus menuju rumah duka. Warga yang berkumpul di sana seketika terdiam ketika menyaksikan siapa yang datang—dan tiba-tiba duka kematian seperti terangkat ke langit, batas antara hidup dan mati seperti hanya pergantian malam dan pagi.

Sang Mistikus ikut mengantarkan jenazah sampai ke kuburnya. Ketika si jenazah dimasukkan ke liang kubur, sang Mistikus menepuk bahu putra si almarhum, dan berbisik dengan senyum penuh kasih, “Berbahagialah untuk ayahmu.”

.
.

Empat belas bulan setelah kejadian itu, beberapa orang kembali ke rumah sang Mistikus. Kali ini mereka ingin mengabarkan berita tentang kelahiran seorang bayi dari salah satu warga mereka.

“Tuan,” kata mereka pada sang Mistikus. “Apakah Tuan masih ingat undangan perkawinan yang pernah dibawa warga kami untuk Tuan sekitar setahun lalu?”

“Ya,” sahut sang Mistikus.

“Nah, kami ingin mengabarkan, pasangan tersebut sekarang telah dikaruniai seorang putra.”

Tiba-tiba sang Mistikus membeku. Bibirnya bergetar. Dan dengan suara tawa bercampur tangis, dia berkata, “Bunga yang tumbuh di antara badai… Semoga ia mekar di tengah gurun pasir kematian, semoga ia mekar… semoga ia tetap mekar… semoga ia hidup dan mekar….”

Sumber: Catatan Hoeda Manis

[kisah] wali tanpa nama dan tanpa gelar



Sebagai pengantar, ini bukan kisah ttg hal mistik, bukan tentang sakti2 atau semacamnya.. murni ttg muhasabah diri, selamat membaca

Suatu hari aku bertemu dengan orang gila ( Al-majnuni Murokab )tak jauh dari makam seorang wali, ia ngoceh ga jelas seperti sedang bicara dengan seseorang, dia berbicara seperti ini:

" Andaikan mereka tahu bahwa ada wali "tanpa nama tanpa gelar" yang memiliki kemampuan seperti Wali Quthb niscaya mereka akan datang berbondong-bondong mencium tangan wali tanpa nama tanpa gelar tersebut minta di do'akan hajatnya, jika Wali tanpa nama tanpa gelar itu telah wafat niscaya mereka akan berlama-lama dipekuburannya berdzikir, berdo'a dan bermuhasabah diri meminta ampun kepada ALLOH MAHA PENGAMPUN atas dosa-dosa mereka selama ini. Andaikan mereka tahu jika mereka sami'na wa athona kepada wali tanpa nama tanpa gelar niscaya ALLOHU SWT akan angkat derajatnya, Namun sayang sekali karena wali tersebut tanpa nama dan tanpa gelar kewalian maka ia seringkali dilupakan dan diabaikan setiap orang".

Aku yang dengar ocehannya kaget dan bergumam "hahhh??? ada wali tanpa nama tanpa gelar yang kemampuannya seperti Wali Quthb? Siapakah wali tersebut?"

Dengan sedikit rasa takut-takut aku dekati dia karena penasaran ingin tahu siapa sebenarnya wali tanpa nama tanpa gelar tersebut?

lalu terjadi dialog:
Aku : maaf mbah tadi saya dengar mbah ada mengoceh panjang lebar dan berbicara tentang wali tanpa nama tanpa gelar, siapakah sebenarnya wali tersebut mbah? mengapa sedemikian hebatnya wali tanpa nama tanpa gelar tersebut hingga kemampuan dan derajatnya hampir menyamai Wali Quthb?

Orang gila tersebut menoleh kearahku dan matanya sedikit melotot lalu berkata :
" Sampeyan siapa? kamu nguping omonganku yach? Apa pentingnya kamu perlu merasa tahu tentang wali tanpa nama?"

Ucapnya dengan nada agak tinggi, Mendengar ucapan suaranya yang agak bernada tinggi terkesan kasar membuat aku sedikit takut dan gentar, lalu berkata :
" Maaf mbah, bukan maksud saya menyinggung mbah, nama saya Bolank saya seorang muhibbun pecinta para wali-wali ALLOHU, kadang-kadang saya dan teman-teman seperti M Darjo Huda, Naja Suluk, Ahmad Nawan Nyel berziarah ke makam para wali, saya penasaran dan tertarik dengan wali tanpa nama tanpa gelar yang mbah sebutkan, kalau boleh tahu siapakah wali tersebut mbah?"

Orang gila itu tertawa terbahak-bahak dan berkata: "HA HA HA HA HA HAA ..... dasar bocah goblog, namanya juga wali tanpa nama tanpa gelar, tentu saja aku tidak tahu nama wali tersebut dan apa gelar kewaliannya, kamu ini tampang keliatan pintar tapi ternyata goblog yach, HA HA HA HA HA"

JLEEB, terasa menusuk sekali perkataannya dia menyebut aku anak bodoh dan goblog, wajahku merah padam menahan sedikit emosi, sepertinya aku salah sangka kukira orang gila tersebut orang yang bisa diajak dialog, tapi nyatanya dia sebut aku bocah goblog, yach aku memang goblog namanya juga wali tanpa nama tanpa gelar jadi siapa yang tahu nama wali tersebut? siapa yang tahu gelar wali tersebut sedangkan wali tersebut tanpa gelar?, ach sudahlah sebaiknya kutinggalkan saja dia, aku pun mulai membalikkan badan dan membuang muka dengan wajah masam hendak meninggalkan orang gila tersebut,

" Hai fikri mau kemana sampeyan, sampeyan ini bagaimana sudah datang tidak mengucapkan salam, malah pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam, baru diejek begitu saja sudah bermuka masam, apakah mursyidmu yang seorang wali qutb tidak mengajarkanmu untuk mengucapkan salam saat datang dan pergi? apakah mursyidmu yang seorang wali tidak mengajarkanmu untuk bisa bersabar menahan celaan dan hinaan?"

langkahku terhenti, astaghfirullooh .... betul sekali, aku tadi lupa mengucapkan salam sebelum memulai obrolan dan aku juga pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam, dan tak kusangka dia menyebut mursyidku seorang Wali Quthb, sepertinya dia mengenal mursyidku

kemudian aku kembali menghampirinya dan berkata " Assalammu' alaikum wr. wb. mbah, mohon maaf mbah atas kelancangan saya karena datang dan pergi tanpa mengucapkan salam, sekali lagi saya mohon maaf" (sambil mencoba meraih tangannya untuk menyalami dan mencium tangannya), orang gila itu menepis tanganku seraya berkata "wiss sudah , cukup bilang minta maaf dan tak perlu cium tangan segala"

Aku jadi salah tingkah, tiba-tiba suasana hening sejenak beberapa menit, aku diam dan diapun diam suasana serasa seperti di kuburan

" Ngapain kamu masih disini?"

annnnccur ... mukaku rasanya merah padam, merasa salah tingkah dan bodoh dihadapan orang gila tersebut, dengan rasa sedikit menahan malu aku tetap memberanikan diri untuk bertanya :

" Maksud saya adalah ingin tahu siapa sebenarnya wali tanpa nama tanpa gelar yang mbah katakan saat saya mencuri dengar"

orang gila bertanya " Kamu ini ga pinter pinter juga, sudah berapa lama kamu belajar tassawwuf/spritual?"

Aku menjawab "sudah sekitar hampir 7 tahun, mbah" lalu orang gila itu berkata sambil menepuk pahanya :
" Sudah 7 tahun masa kamu ora mudeng dan tidak tahu wali tanpa nama dan tanpa gelar, memangnya gurumu tidak mengasih tahu?"

Aku menjawab "saya sering membaca dan mendengar suhbah dari guru saya mbah, tapi saya belum tahu dan belum pernah dengar ada wali tanpa nama dan tanpa gelar, dan guru sayapun tidak pernah menyebutkan siapa wali tersebut?"

orang gila itu tertawa terkekeh-kekeh lalu berkata " Sebenarnya gurumu ada menyebutkannya bahkan berulang-ulang kali menyebutkannya hanya saja kamu aja yang ga faham-faham dengan maksud gurumu, lagi pula sebutannya wali tanpa nama dan tanpa gelar jelas gurumu tidak tahu nama wali tersebut dan tidak tahu gelar wali tersebut tapi kamu sendiri tahu siapa wali tersebut, bahkan wali tersebut begitu dekat denganmu"

Aku bergumam dalam hati "apaaa??

Aku mengenal wali tersebut? siapa dia?

orang gila itu tertawa terkekeh-kekeh "he .. he ... he ... wali tanpa nama dan tanpa gelar itu adalah orangtuamu sendiri, nah sekarang aku tanya kamu memangnya aku kenal siapa nama orangtuamu dan gelar orangtuamu? yach aku mana tahu"

aku jadi tambah bingung lalu semakin bertanya-tanya

" Orangtuaku? maksud mbah orangtuaku adalah wali tanpa nama dan tanpa gelar? mengapa bisa begitu mbah?"
orang gila itu mulai menatap mataku dengan tajam, lalu bangkit dari duduknya lalu berkata :

" Apakah kau tidak tahu tentang Uwaisy al Qorni, salah satu sahabat yang tidak pernah bertemu NABI secara fisik dan juga seorang wali? apa yang menyebabkan dia memiliki derajat yang begitu agung hingga namanya terkenal di langit walau dibumi tak ada seorangpun mengenalnya? kau tahu??!!
" Sahabat Uwaisy al Qorni berkata bahwa ibunya pernah berkata dan mendo'akannya "anakku Uwaisy aku tahu hatimu begitu sangat mencintai dan menginginkan dapat bertemu NABI MUHAMMAD SAW, namun kini kau datang padaku dengan wajah dirundung sedih karena tak berhasil menemui ROSULULLOH SAW dan kau memilih segera pulang karena memikirkan dan mengkhawatirkan aku ibumu ini nak , dan aku ridho padamu, YA ALLOHU kau MAHA TAHU, saksikanlah bahwa sesungguhnya aku telah ridho pada anakku, maka terimalah ridho ku ya ALLOHU dan ridhoilah anakku Uwaisy",
Dan apa kau tidak kau tahu bahwa SHULTONUL AWLIYA SYEIKH ABDUL QODIR JAILANI , dimasa kecilnya ketika dirampok malah berkata jujur tentang kantung emas yang ia bawa, perampok itu heran mengapa ia malah jujur mengatakan kantung emas yang dibawanya padahal setiap orang yang mereka rampok selalu berbohong tentang bawaannya dan berusaha menyembunyikannya dari mereka, lalu kau tahu apa kata SYEIKH ABDUL QODIR JAILANI? beliau berkata "ketika aku hendak bepergian menuntut ilmu ibuku berpesan "anakku .. bila engkau bertemu dengan siapapun maka jujurlah jangan berbohong, sungguh ibu lebih ridho bila engkau jujur sekalipun engkau harus kehilangan harta dan perbekalanmu daripada kau harus kehilangan kejujuranmu"……

" Lihatlah ibumu, berapa lama dia menanggung dirimu dalam perutnya? apakah kau sanggup menahan perih dan pedih seperti dirinya hanya untuk menginginkan kau lahir di dunia hingga bertaruh nyawa agar kau terlahir sehat dan selamat?? apakah kau pernah memikirkan hal ini ??
Itu kekuatan ALLOHU SWT yang dianugerahkan kepada ibumu melalui RAHMAN dan RAHIM NYA , ini adalah sumber kekuatan para AWLIYA"

Aku diam seribu bahasa rasa hati ini ingin menangis sejadi-jadinya, aku serasa dihakimi dalam hari perhitungan ...

Lalu orang gila itu berkata lagi " KAU BANGGA DAN TAKJUB DENGAN KAROMAH PARA WALI TAPI, PERNAHKAH KAU BANGGAKAN DAN TAKJUB DENGAN KAROMAH IBUMU YANG ALLOHU SWT anugerahkan kepadamu?

PERNAHKAH KAU BANGGA DAN TAKJUB DENGAN KAROMAH IBU YANG MENGAJARKAN BERKATA-KATA KETIKA KAMU MASIH BAYI ??
tidurnya sedikit karena kau selalu nangis dan rewel sebagaimana para AWLIYA yang tidurnya sedikit karena memikirkan ummat NABI MUHAMMAD SAW yang banyak berkeluh kesah..

Apakah kau tak tahu kalau itu adalah bukti karomah ibumu?, tidakkah kau pernah mendengar kalimat ini
" Ridho orangtua adalah ridho nya ALLOHU, para awliya mereka menjadi Wali Quthb dikarenakan ridho dari orangtua mereka, tidakkah kau sadar bahwa do'a dan harapan kedua orangtuamu hampir setara dengan Wali Quthb?"

Astaghfirullooh ... ampuuunnn .... mendengar celotehan orang gila tersebut seakan petir menyambar seluruh tubuhku, badanku rasanya hancur binasa ... ingin sekali aku rasanya menangis sekuat-kuatnya ...

Orang gila itu berdiri lalu berkata sambil menunjuk kearahku ;

" Lihat dirimu, kelak kau akan jadi seorang BAPAK, apakah kau tahu karomah bapakmu selama ini? lihat tangannya, lihat punggungnya lihat kulitnya, setiap hari ia membanting tulang agar kau tetap bisa makan, tetap bisa tertawa, tetap tersenyum, bekerja siang dan malam hanya untuk mengabulkan segala macam pinta dan rengekmu, ketika kau kecil dirimu melakukan kesalahan dialah orang yang paling depan membelamu, ketika kau dalam bahaya dia rela menghadapi bahaya itu untuk menyelamatkanmu, dia tanggung bebanmu dan ibumu dipundaknya walau kian rapuh dia tetap berusaha menopang, tidakkah kau sadari bahwa bapakmu itu seorang MUJAHID FISABILILLAH ? yang setiap hari dia berjuang menafkahi kehidupanmu bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun, dia bapakmu adalah MUJAHIDIN kebanggaanmu"

Ya ROBB, aku seperti hancur lebur mendengar ocehan orang gila tersebut, bahkan ternyata selama ini aku yang gila bukan dia, aku melupakan siapa sesungguhnya orangtuaku sendiri, aku melupakan semua yang mereka beri padaku, bahkan aku sering takjub akan pesona dan karomah wali tapi aku tak pernah sadar dengan orangtuaku sendiri yang merupakan wali tanpa nama dan tanpa gelar kewalian, ...

Sesaat kemudian orang gila itu berlalu meninggalkanku tanpa sepatah katapun .... aku mengikuti dia dari belakang ingin tahu kemana dia pergi ... ternyata dia mendatangi 2 gundukan tanah, dan dia duduk disana .... mulutnya komat kamit seperti orang yang berdialog dan berbicara, namun karena dia menggunakan bahasa daerah yang tidak kumengerti aku tidak tahu apa yang dia ucapkan, lalu sesaat kemudian dia tertawa kebahak-bahak sambil senyam senyum dihadapan 2 gundukan tanah yang ternyata itu tanah kuburan, tapi aku tak tahu kuburan siapa itu namun aku berhusnudzon mungkin itu kuburan seorang wali besar, karena dari celoteh orang gila itu sepertinya dia tahu betul tentang wali jadi aku pikir itu kuburan seorang wali ....

Tiba-tiba setelah selesai dia tertawa, dia diam .... suasana menjadi hening .... kemudian kulihat dia mulai menangis meneteskan airmata dengan suara terisak-isak, tangisan begitu pilu sampai serasa menyayat hatiku untuk turut menangis ... aku tak tahu apa yang diucapkannya dalam logat daerah, sambil tangannya mengelus - elus kuburan itu, tangisan kian jadi bahkan meraung, aku sedih bercampur bingung karena tak mengerti dengan bahasa yang diucapkannya ... namun akhirnya aku mengerti mengapa dia meraung-raung menangis dikuburan yang kusangkakan seorang wali, ditengah isak tangisnya aku mendengar dia mengucapkan kalimat "mbok ... " , lalu pada kuburan yang sebelahnya dia berkata "mbah ... " , aku jadi ingin menangis sejadi-jadinya .... ternyata itu kuburan orangtuanya, ternyata itu kuburan seorang wali tanpa nama tanpa gelar ...

Kini aku baru faham mengapa orang-orang mulai menganggap gila, sebab dia sering tertawa, menangis meraung, dan bercakap - cakap sendiri di kuburan ... seandainya aku jadi dia mungkin aku akan sama dengannya menjadi gila karena ditinggal pergi oleh kedua orang paling yang disayangi ...
aku membalikkan badanku ... bergegas ingin pulang kerumah untuk menemui kedua orangtuaku yang masih hidup. Dan aku merasa beruntung masih memiliki wali tanpa nama tanpa gelar yang masih hidup ....

Sepanjang jalan aku berdoa: "robbighfirlii waliwaalidayya warhamhuma kamaa robbayaanii shogiroo.."

Posted by Ibnu Tiyar copas from facebook
Kang Mujahidin
Dagelan Ala Santri Indonesia (DASI)

[kisah] dialog gus dur dan santri: ini semua salah nabi adam


Santri : "Ini semua gara-gara Nabi Adam, ya Gus!"

Gus Dur : "Loh, kok tiba-tiba menyalahkan Nabi Adam, kenapa Kang."

Santri : "Lah iya, Gus. Gara-gara Nabi Adam dulu makan buah terlarang, kita sekarang merana. Kalau Nabi Adam dulu enggak tergoda Iblis kan kita anak cucunya ini tetap di surga. Enggak kayak sekarang, sudah tinggal di bumi, eh ditakdirkan hidup di Negara terkorup, sudah begitu jadi orang miskin pula. Emang seenak apa sih rasanya buah itu, Gus?"

Gus Dur : "Ya tidak tahulah, saya kan juga belum pernah nyicip. Tapi ini sih bukan soal rasa. Ini soal khasiatnya."

Santri : "Kayak obat kuat aja pake khasiat segala. Emang Iblis bilang khasiatnya apa sih, Gus? Kok Nabi Adam bisa sampai tergoda?"

Gus Dur : "Iblis bilang, kalau makan buah itu katanya bisa menjadikan Nabi Adam abadi."

Santri : "Anti-aging gitu, Gus?"

Gus Dur : "Iya. Pokoknya kekal."

Santri : "Terus Nabi Adam percaya, Gus? Sayang, iblis kok dipercaya."

Gus Dur : "Lho, Iblis itu kan seniornya Nabi Adam."

Santri : "Maksudnya senior apa, Gus?"

Gusdur : "Iblis kan lebih dulu tinggal di surga dari pada Nabi Adam dan Siti Hawa."

Santri : "Iblis tinggal di surga? Masak sih, Gus?"

Gus Dur : "Iblis itu dulunya juga penghuni surga, terus di usir, lantas untuk menggoda Nabi Adam, iblis menyelundup naik ke surga lagi dengan berserupa ular dan mengelabui merak sang burung surga, jadi iblis bisa membisik dan menggoda Nabi Adam."

Santri : "Oh iya, ya. Tapi, walau pun Iblis yang bisikin, tetap saja Nabi Adam yang salah. Gara–garanya, aku jadi miskin kayak gini."

Gus Dur : "Kamu salah lagi, Kang. Manusia itu tidak diciptakan untuk menjadi penduduk surga. Baca surat Al-Baqarah : 30. Sejak awal sebelum Nabi Adam lahir… eh, sebelum Nabi Adam diciptakan, Tuhan sudah berfirman ke para malaikat kalo Dia mau menciptakan manusia yang menjadi khalifah (wakil Tuhan) di bumi."

Santri : "Lah, tapi kan Nabi Adam dan Siti Hawa tinggal di surga?"

Gus Dur : "Iya, sempat, tapi itu cuma transit. Makan buah terlarang atau tidak, cepat atau lambat, Nabi Adam pasti juga akan diturunkan ke bumi untuk menjalankan tugas dari-Nya, yaitu memakmurkan bumi. Di surga itu masa persiapan, penggemblengan. Di sana Tuhan mengajari Nabi Adam bahasa, kasih tahu semua nama benda. (lihat Al- Baqarah : 31).

Santri : "Jadi di surga itu cuma sekolah gitu, Gus?"

Gus Dur : "Kurang lebihnya seperti itu. Waktu di surga, Nabi Adam justru belum jadi khalifah. Jadi khalifah itu baru setelah beliau turun ke bumi."

Santri : "Aneh."

Gus Dur : "Kok aneh? Apanya yang aneh?"

Santri : "Ya aneh, menyandang tugas wakil Tuhan kok setelah Nabi Adam gagal, setelah tidak lulus ujian, termakan godaan Iblis? Pendosa kok jadi wakil Tuhan."

Gus Dur : "Lho, justru itu intinya. Kemuliaan manusia itu tidak diukur dari apakah dia bersih dari kesalahan atau tidak. Yang penting itu bukan melakukan kesalahan atau tidak melakukannya. Tapi bagaimana bereaksi terhadap kesalahan yang kita lakukan. Manusia itu pasti pernah keliru dan salah, Tuhan tahu itu. Tapi meski demikian nyatanya Allah memilih Nabi Adam, bukan malaikat."

Santri : "Jadi, tidak apa-apa kita bikin kesalahan, gitu ya, Gus?"

Gus Dur : "Ya tidak seperti itu juga. Kita tidak bisa minta orang untuk tidak melakukan kesalahan. Kita cuma bisa minta mereka untuk berusaha tidak melakukan kesalahan. Namanya usaha, kadang berhasil, kadang enggak."

Santri : "Lalu Nabi Adam berhasil atau tidak, Gus?"

Gus Dur : "Dua-duanya."

Santri : "Kok dua-duanya?"

Gus Dur : "Nabi Adam dan Siti Hawa melanggar aturan, itu artinya gagal. Tapi mereka berdua kemudian menyesal dan minta ampun. Penyesalan dan mau mengakui kesalahan, serta menerima konsekuensinya (dilempar dari surga), adalah keberhasilan."

Santri : "Ya kalo cuma gitu semua orang bisa. Sesal kemudian tidak berguna, Gus."

Gus Dur : "Siapa bilang? Tentu saja berguna dong. Karena menyesal, Nabi Adam dan Siti Hawa dapat pertobatan dari Tuhan dan dijadikan khalifah (lihat Al-Baqarah: 37). Bandingkan dengan Iblis, meski sama-sama diusir dari surga, tapi karena tidak tobat, dia terkutuk sampe hari kiamat."

Santri : "Ooh…"

Gus Dur : "Jadi intinya begitulah. Melakukan kesalahan itu manusiawi. Yang tidak manusiawi, ya yang iblisi itu kalau sudah salah tapi tidak mau mengakui kesalahannya justru malah merasa bener sendiri, sehingga menjadi sombong."

Santri : "Jadi kesalahan terbesar Iblis itu apa, Gus? Tidak mengakui Tuhan?"

Gus Dur : "Iblis bukan atheis, dia justru monotheis. Percaya Tuhan yang satu."

Santri : "Masa sih, Gus?"

Gus Dur : "Lho, kan dia pernah ketemu Tuhan, pernah dialog segala kok."

Santri : "Terus, kesalahan terbesar dia apa?"

Gus Dur : "Sombong, menyepelekan orang lain dan memonopoli kebenaran."

Santri : "Wah, persis cucunya Nabi Adam juga tuh."

Gus Dur : "Siapa? Ente?"

Santri : "Bukan. Cucu Nabi Adam yang lain, Gus. Mereka mengaku yang paling bener, paling sunnah, paling ahli surga. Kalo ada orang lain berbeda pendapat akan mereka serang. Mereka tuduh kafir, ahli bid'ah, ahli neraka. Orang lain disepelekan. Mereka mau orang lain menghormati mereka, tapi mereka tidak mau menghormati orang lain. Kalau sudah marah nih, Gus. Orang-orang ditonjokin, barang-barang orang lain dirusak, mencuri kitab kitab para ulama. Setelah itu mereka bilang kalau mereka pejuang kebenaran. Bahkan ada yang sampe ngebom segala loh."

Gus Dur : "Wah, persis Iblis tuh."

Santri : "Tapi mereka siap mati, Gus. Karena kalo mereka mati nanti masuk surga katanya."

Gus Dur : "Siap mati, tapi tidak siap hidup."

Santri : "Bedanya apa, Gus?"

Gus Dur : "Orang yang tidak siap hidup itu berarti tidak siap menjalankan agama."

Santri : "Lho, kok begitu?"

Gus Dur : "Nabi Adam dikasih agama oleh Tuhan kan waktu diturunkan ke bumi (lihat Al- Baqarah: 37). Bukan waktu di surga."

Santri : "Jadi, artinya, agama itu untuk bekal hidup, bukan bekal mati?"

Gus Dur : "Pinter kamu, Kang!"

Santri : "Santrinya siapa dulu dong? Gus Dur."

[kisah] makhluk Allah yang paling buruk


Sebuah tulisan dari group FB sahabat maiyah yg rasanya mubazir kalo gak dicuri hehe, langsung aja

Belajar Tawadhu’

“Akan lebih baik bagimu menganggap setiap orang lebih baik darimu”

::: TWEET JUM’AT, Gus Mus :::

Ada sebuah kisah. Tak usah anda tanyakan shahih ataukah dhoif. Fakta atau rekayasa. Saya berharap dengan membaca kisah ini, kita bisa belajar tawadhu’ dan rendah hati. Sehingga tidak mudah menyalahkan orang lain. Lebih banyak bercermin dan mengoreksi kekurangan diri dan tidak sibuk mencari-cari kesalahan orang lain.

Konon ada seorang ‘alim yang ‘ariif memiliki seorang anak yang sangat cerdas dan shalih. Ilmu apa saja yang diberikan, dapat diserap dengan cepat. Suatu ketika ia ingin menguji kemampuan anaknya.

Ayah : Anakku, aku lihat pengetahuanmu sudah berkembang demikian pesat. Pengetahuanku hampir berpindah secara utuh olehmu. Sekarang aku ingin kau pergi dari rumah ini. Berkelanalah ! Carilah makhluk Allah yang paling buruk. Bawalah makhluk Allah itu pulang. Sebelum kau membawa makhluk Allah yang menurutmu terburuk ! Engkau jangan sekali-kali pulang !

Anak : Baiklah. Mohon doa restu Ayah.

Sang anak pun berjalan meninggalkan rumah. Menyusuri jalan demi jalan. Singgah dari satu desa ke desa. Dari satu kota ke kota. Ia terus mencari-cari makhluk terburuk untuk dibawa pulang. Langkah kakinya terhenti ketika melihat rumah seorang wanita jelita. Ada yang unik, sang wanita ternyata dikelilingi oleh banyak laki-laki. Penampilan sang wanita pun demikian menggoda. Aurat yang seharusnya tertutup tersingkap dan bisa jadi sengaja disingkapkan. Dari beberapa suara-suara yang masuk ke telinganya, tahulah ia bahwa wanita itu adalah pekerja seks komersial, pelacur.

Melihat pemandangan di depan matanya sang anak tersenyum dan membatin, ”inilah makhluk Allah yang paling buruk. Karena dia rumah tangga orang bisa hancur berantakan. Karena dia iman seseorang tergadai. Dialah sumber masalah. Inilah makhluk terburuk yang harus saya bawa pulang”.

Perlahan-lahan sang anak mendekati kediaman pelacur. Baru beberapa langkah ada suara dari dalam hatinya. “wanita itu memang pelacur. ia memang buruk. Tapi bisa jadi suatu saat ia bertaubat dan menjadi muslimah patuh dan taat kepada Allah. Keburukannya akan sirna dan catatan-catatan kebaikannya akan terus beranak pinak. Bukankah banyak orang-orang di masa lalu ahli maksiat tapi di tengah jalan mendapatkan hidayah dan berahir husnul khatimah ?”.

Menyadari nasehat hatinya. Ia urungkan langkah kakinya dan kembali menyusuri semesta mencari makhluk Allah yang terburuk. Ia temukan orang-orang yang dalam pandangan masyarakat buruk karena berperilaku menabrak norma agama, norma susila, dan norma hukum. Ada koruptor, pencuri, penjudi, pemerkosa, dan seterusnya. Setiap kali hendak membawa mereka pulang, hatinya selalu mengingatkan dengan nasehat serupa.

Sang anak hampir saja putus asa. Kalau tidak menemukan makhluk terburuk, berarti dia tidak akan pernah kembali ke rumahnya. Di tengah rasa putus asa yang menindih kesadarannya, seekor anak anjing buduk lewat di depannya. Kondisi anjing yang demikian buruk membuat sang anak berjingkrak bahagia. Ia seperti menemukan permata. “pasti inilah makhluk yang paling buruk. Mana ada makhluk yang lebih buruk darinya ?”. Segera dipungutlah anjing itu. Di bawanya pulang. Tinggal beberapa meter dari dari rumah, terdengar suara nuraninya, “apa salah anjing itu ? Kenapa kau anggap dia sebagai makhluk yang paling buruk ? Bukankah dia tak meminta terlahir seperti itu ? Ia menjalani fitrah yang ditakdirkan Penciptanya ! Ia sama seperti dirimu yang harus menjalani peran sebagaimana keinginan Sang Dalang, Allah !”

Mendengar suara hatinya, sang anak berhenti. Ia pandangi anjing buduk ditangannya. Ia tersenyum dan berkata, “anjing maafkan aku, aku telah menuduhmu sebagai makhluk yang hina dina”. Anjing pun dilepaskannya. Meski tak membawa apa-apa, sang anak tetap melangkahkan kaki. Kembali pulang. Ayahnya telah menunggu kedatangannya !

Ayah : Apakah kau berhasil membawa makhluk yang paling buruk ?

Anak : Ya.

Ayah : Mana ?

Anak : Akulah makhluk terburuk itu ?

Ayah : Bagaimana kau bisa berkata demikian ?

Anak : Ayah. Semua orang yang saya lihat buruk, menyimpan kemungkinan untuk berubah menjadi baik. Sementara saya hanya asik melihat keburukan orang lain dan lupa melihat keburukan diri saya. Karena itulah, saya mengambil kesimpulan bahwa selama saya asik melihat kejelekan orang lain, kesalahan orang lain, keburukan orang lain, dan tidak melihat keburukan saya sendiri. Maka sayalah orang terburuk itu !

“Ayyuhal Walad” - Imam Ghazalie. sebuah nasehat dari Rasulullah saw :

حَاسِبُوا اَنْفُسَكُمْ قَبْلَ اَنْ تُحَاسَبُوا

“hisablah, koreksilah dirmu sebelum kau dihisab”

Semoga kita terus bisa merunduk dan lebih banyak melihat kesalahan, kekurangan, kebobrokan, dan gunungan dosa dalam diri. Sehingga tidak uwil (sibuk) mencari-cari kesalahan orang lain.

Sumber:  https://web.facebook.com/groups/492799577532776/

[kisah] abu nawas menipu tuhan





Abu Nawas sebenarnya adalah seorang ulama yang alim. Tak begitu mengherankan jika Abu Nawas mempunyai murid yang tidak sedikit.

Diantara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang hampir selalu menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu. Suatu ketika ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama. 

Orang pertama mulai bertanya,
"Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang pertama.
"Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan." kata Abu Nawas.
Orang pertama puas karena ia memang yakin be­gitu.

Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama.
"Manakah yang lebih utama, orang yang menger­jakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang tidak mengerjakan keduanya." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang kedua.
"Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan."kata Abu Nawas.
Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas.

Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama.
"Manakah yang iebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang menger­jakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang ketiga.
"Sebab pengampunan Allah kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu." jawab Abu Nawas.
Orang ketiga menerima aiasan Abu Nawas. Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.

Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya.
"Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?"
"Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati."
"Apakah tingkatan mata itu?" tanya murid Abu Nawas. "Anak kecil yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata." jawab Abu Nawas mengandaikan.
"Apakah tingkatan otak itu?" tanya murid Abu Nawas. "Orang pandai yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan." jawab Abu Nawas.
"Lalu apakah tingkatan hati itu?" tanya murid Abu Nawas.
"Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang me­ngerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan KeMaha-Besaran Allah."

Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa per­tanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda. la bertanya lagi.
"Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?"
"Mungkin." jawab Abu Nawas.
"Bagaimana caranya?" tanya murid Abu Nawas ingin tahu.
"Dengan merayuNya melalui pujian dan doa." kata Abu Nawas
"Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru." pinta mu­rid Abu Nawas.
"Doa itu adalah : llahi lastu HI firdausi ahla, wala aqwa'alan naril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil 'adhimi.

arti doa itu adalah : Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.

end ^_^

[kisah] nabi daud as dan seekor ulat



 Dalam sebuah kitab Imam Al-Ghazali menceritakan pada suatu ketika tatkala Nabi Daud A.S sedang duduk dalam suraunya sambil membaca kitab az-Zabur, dengan tiba-tiba dia terpandang seekor ulat merah pada debu.
Senin, 18 November 2013

Dalam sebuah kitab Imam Al-Ghazali menceritakan pada suatu ketika tatkala Nabi Daud A.S sedang duduk dalam suraunya sambil membaca kitab az-Zabur, dengan tiba-tiba dia terpandang seekor ulat merah pada debu.
Lalu Nabi Daud A.S. berkata pada dirinya, "Apa yang dikehendaki Allah dengan ulat ini?"

Setelah Nabi Daud selesai berkata begitu, maka Allah pun mengizinkan ulat merah itu berbicara. Lalu ulat merah itu pun mula berbicara kepada Nabi Daud A.S. "Wahai Nabi Allah! Allah S.W.T telah mengilhamkan kepadaku untuk membaca ‘Subhanallahu ivalhamdulillahi wala ilaha illallahu mllahu akbar’ setiap hari sebanyak 1000 kali dan pada malamnya Allah mengilhamkan kepadaku supaya membaca ‘Allahumma solli ala Muhammadin annabiyyil ummiyyi wa ala alihi wa sohbihi wa sallim’ setiap malam sebanyak 1000 kali.

Setelah ulat merah itu berkata demikian, maka dia pun bertanya kepada Nabi Daud A.S, "Apakah yang dapat kamu katakan kepadaku agar aku dapat faedah darimu?"
Karena pertanyaan Nabi Daud tersebut terkesan meremehkan kata-kata semut tadi. Nabi Daun segera tersadar bahwa telah memandang sebelah mata kepada ulat tersebut, dan dia sangat takut kepada Allah S.W.T.. Maka Nabi Daud A.S. pun bertaubat dan menyerah diri kepada Allah S.WT.

Begitulah sikap para Nabi A.S. apabila mereka menyadari kekhilafan yang telah dilakukan maka dengan segera mereka akan bertaubat dan menyerah diri kepada Allah S.WT. Kisah- kisah yang berlaku pada zaman para Nabi bukanlah untuk kita ingat sebagai bahan sejarah, tetapi hendaklah kita jadikan sebagai teladan supaya kita tidak memandang rendah kepada apa saja makhluk Allah yang berada di bumi yang sama-sama kita tumpangi ini.

Dikutip dari 115 Kisah Teladan Penuh Hikmah [ ALLAH TIDAK PERNAH TIDUR ]
Pnerbit : Karta Media
Wendy Setyawan, S.IP

[kisah] kabayan dan abu nawas membahas matematika



Di suatu tempat Kabayan bertemu Abu Nawas untuk membahas masalah matematika.

Kabayan : "Abah Abu, sebenarnya saya ini bukan ahli matematika nih. Cuma, saya diundang berseminar matematika di sini. Menurut Abah Abu, saya harus bagaimana nih?"

Abu Nawas : "Kang Kabayan, memangnya materi apa yang akan disampaikan pada seminar kali ini?"

Kabayan : "Sebenarnya sih sederhana saja, panitia meminta saya menyampaikan tentang persamaan. Cuma mereka minta agar persamaan itu tak dibahas secara matematis, tapi dengan cara-cara yang sederhana (kalau bisa sih lucu) dan mudah dipahami oleh orang-orang biasa. Makanya saya ikut seminar ini. Kalau diminta membahas secara matematis sih, wah saya tak sanggup deh...."

Abu Nawas : "Oh begitu ya...? Coba nih saya tanya, kira-kira Kang Kabayan menyelesaikan persamaan (8-x)/3 + 2 = 4 ini bagaimana?"

Kabayan : "Secara matematis yang tepat sih, saya tak bisa menjelaskannya. Mungkin saya akan ditertawakan oleh para matematikawan-matematikawan itu. Saya bisanya dengan kata-kata saja..., dengan cara saya, seperti yang diminta panitia."

Abu Nawas: "Memangnya bagaimana? Saya juga tak mengerti bila diminta menjelaskan secara matematis. Soal tadi itu juga saya dapatkan dari kawan saya yang bertanya ke saya, dan saya tak bisa menjelaskannya secara matematis. Coba deh, menurutmu bagaimana cara penyelesaian persamaan tersebut?"

Kabayan : "Ah, Abah Abu merendah saja...."

Abu Nawas: "Serius! Saya benar-benar tidak bisa." (kali ini tampak wajah Abu Nawas terlihat serius)

Kabayan : "Baiklah kalau begitu. Begini menurut saya, persamaan itu saya ibaratkan sebuah timbangan dengan "dua tangan". Tanda sama dengan berarti seimbang." Abu Nawas menyimak Kabayan dengan sungguh-sungguh.

Kabayan: "Berarti, untuk menyelesaikan persamaan tersebut ((8-x)/3 + 2 = 4), mudahnya begini saja. Saya ibaratkan 4 itu empat buah semangka berukuran sama yang terletak di sebelah kanan timbangan. Dan di sebelah kiri, (8-x)/3 + 2 itu berarti banyaknya semangka yang saya sendiri belum tahu berapa banyaknya ditambah dua semangka." (Yang dimaksud Kabayan dengan banyaknya semangka yang ia belum tahu berapa banyaknya adalah (8-x)/3 ).

Abu Nawas: "Ya... ya ..., terus?"

Kabayan: "Nah, karena di sebelah kiri sudah jelas ada 2 semangka dan sebelah kanan ada 4 semangka, berarti bagian yang saya belum tahu ((8-x)/3 ) itu sebenarnya berjumlah 2 buah semangka. Jadinya, saya bisa tulis (8-x)/3 = 2." Kabayan tampak terdiam beberapa saat, memperhatikan persamaan baru ((8-x)/3 = 2) yang diperolehnya. Kemudian, segera setelah itu ia melanjutkan penjelasannya....

Kabayan: "(8-x)/3 = 2, artinya banyaknya suatu semangka (8-x) bila dibagi 3 sama saja dengan 2. Berarti banyaknya semangka tersebut pasti adalah 6. Makanya berarti 8-x = 6." Belum sempat melanjutkan penjelasannya, Abu Nawas segera berseru dan mengatakan begini.

Abu Nawas: "Saya mengerti, saya mengerti.... Jadinya, karena 8-x = 6, artinya delapan semangka dikurangi berapa semangka (nilai x) hasilnya 6 kan? Pasti banyaknya semangka itu (di persamaan ini diberi symbol x) adalah 2, benar kan?"

Kabayan: "Ya benar.... Tuh kan, Abah Abu cuma merendah saja...."

Abu Nawas: "Ah *engga* juga, kamu benar-benar bagus penjelasannya. Makanya saya gampang mengerti."



Abu Nawas tertawa gembira, karena ia mengerti penjelasan Kabayan. Kemudian, ia pun bercerita pada Kabayan bahwa ia diundang ke seminar ini pun bukan karena ia mengerti matematika. Tapi, ia diminta panitia untuk menjelaskan sastra (bahasa) terkait dengan matematika. Karena katanya, Matematika itu adalah bahasa juga, tapi berupa bahasa symbol.



Abu Nawas: "Sekarang saya jadi mengerti persamaan itu apa. Ini memudahkan saya untuk bercerita tentang matematika sebagai bahasa symbol nanti siang", begitu kata Abu Nawas dengan nada optimis.

Kabayan: "Sekarang, gantian saya yang mau bertanya nih sama Abah Abu...."

Abu Nawas: "Ah kang Kabayan, jangan nanya yang susah-susah ya...?"

Kabayan: "Justru ini pertanyaan susah yang belum bisa saya jawab. Begini ceritanya, seminggu yang lalu presiden memberi potongan hukuman bagi para tahanan. Bahwa semua tahanan diberi potongan berupa setengah dari masa hukuman yang harus dijalani tiap tahanan tersebut. Untuk tahanan yang dihukum 10 tahun, karena dipotong setengahnya, jadinya ia cuma tinggal menjalani hukuman 5 tahun saja. Bila seorang tahanan dihukum 20 tahun, karena dipotong setengahnya jadinya tinggal 10 tahun saja. Begitu seterusnya. Ketetapan ini sudah diputuskan oleh presiden dan tak bisa diubah!"

Abu Nawas: "Terus, masalahnya apa?"

Kabayan: "Ini sebenarnya masalah matematika juga, cuma matematikawan-matematikawan di negeri saya tak ada yang sanggup menjawabnya. Masalahnya begini, karena ada tahanan yang dihukum seumur hidup (sampai sang tahanan tersebut meninggal), artinya kan harus ditentukan berapa lama sisanya ia akan dihukum? Padahal tak ada yang tahu kapan seseorang itu meninggal. Tak ada yang tahu berapa lama umur seseorang itu. Masalah ini jadi heboh di seluruh Indonesia dikarenakan presiden dengan ceroboh menetapkan kebijakannya tersebut. Belum ada yang bisa memecahkannya. Paranormal seperti dukun, tukang ramal nasib, tukang tenung, mentalist (semisal Dedi Corbuzier) dan sebangsanya itu tak bisa memecahkannya. Cendekiawan yang terkenal cerdik pun semisal Gus Dur dibikin repot karenanya (padahal Gus Dur terkenal dengan perkataannya, "Gitu aja kok repot." Tapi, kali ini benar-benar ia repot dibuatnya). Para matematikawan pun yang pintar-pintar itu angkat tangan mencari solusinya. Dan ini menjadi isu nasional. Jadi, bagaimana Abah
Abu menyelesaikannya?"

Abu Nawas: "Ooooh begitu ya? Berat juga masalahnya kalau begitu. Tapi, beri saya waktu sepuluh menit saja, saya habiskan dulu ya makanan saya...." Kabayan pun mempersilakan Abu Nawas menghabiskan makanannya. Sambil makan, tampak Abu Nawas berfikir dengan serius. Dan, segera setelah habis makanannya, tampak cerialah wajah Abu Nawas, pertanda ia punya pemecahan masalah tersebut.



Abu Nawas: "Hahaa.... Menurut saya begini saja, masalah ini bisa diselesaikan dengan konsep persamaan yang telah kamu jelaskan tadi...."



Kabayan: "Oh ya...? Bagaimana?"



Abu Nawas: "Karena persamaan itu menurutmu berarti seimbang, atau keseimbangan, masalah pemotongan masa hukuman tersebut ya mudah saja diselesaikan. Begini caranya, supaya orang yang dihukum seumur hidup itu dapat potongan hukuman setengah masa hidupnya, cara menghukumnya begini saja. Sehari ia ditahan, sehari ia dibebaskan, begitu seterusnya hingga ia meninggal. Seimbang bukan, seperti persamaan kan?"



Kabayan: "Subhanallah, Alhamdulillah... benar-benar penyelesaian yang sangat cantik, dan sesuai konsep persamaan. Luar biasa, luuuuuuuuuuuuar biasa! Saya bersyukur bisa bertemu Abah Abu di tempat ini. Terimakasih ya Abah Abu...."


repost from: ketawa.com

[kisah] abu nawas memenjarakan angin



Al kisah...
Abu Nawas kaget bukan main saat seorang utusan Baginda Raja datang ke rumahnya.
Ia diharuskan menghadap Baginda secepatnya.
Pikiran Abu Nawas bertanya-tanya, permainan apalagi yang akan dihadapi kali ini.

Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut Abu Nawas dengan sebuah senyuman.
GR langsung tuh Abu Nawas...

"Akhir-akhir ini aku sering mendapt gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku terkena serangan angin," kata Baginda memulai pembicaraan.
"Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil," tanya Abu Nawas.
"Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya," kata Baginda.

Abu Nawas hanya diam.
Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Ia tidak memikirkan cara menangkap angin nanti tetapi ia masih bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin.

Karena angin tidak bisa dilihat.
Tida ada benda yang lebih aneh dari angin.
Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisa dilihat.
Sedangkan angin tidak.

Parahnya lagi, Baginda hanya memberi waktu tidak lebih dari 3 hari.
Abu nawas pulang dengan membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja.
Namun Abu Nawas tidak begitu sedih.

Karena berpikir adalah sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan.
Ia yakin bahwa dengan berfikir akan terbentanglah jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi.
Dan dengan berfikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin.
Karena tak jarang Abu Nawas menggondol sepundi penuh uang emas hadiah dari Baginda Raja atas kecerdikannya.

Akan tetapi sudah 2 hari ini si Abu Nawas belum juga mendapat akal untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya.
Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkan oleh Baginda Raja.
Abu Nawas hampir putus asa.
Abunawas benar-benar tidak bisa tidur walaupun hanya sekejap.

Mungkin sudah takdir, kayaknya kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagal melaksanakan perintah Baginda.
Ia berjalan gontai menuju istana.

Nah...
Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia teringat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.
"Bukankah jin itu tidak terlihat?" guman Abu Nawas.
Ia langsung kegirangan dan segera berlari pulang.

Sesampainya di rumah, ia secepat mungkin segala sesuatunya kemudian menuju istana.
Di pintu gerbang istana, si Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedang menunggu kehadirannya.

Dengan tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada Abu Nawas.
"Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin hai Abu Nawas?" tanya Baginda.
"Sudah Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas dengan wajah berseri-seri.

Abu Nawas kemudian mengeluarkan botol yang sudah disumbat.
Kemudian botol tersebut diserahkan kepada Baginda.
Baginda Raja menimang-nimang botol itu sebelum bertanya lebih lanjut.

"Mana angin itu hai Abunawas?" tanya Baginda.
"Di dalam, Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.
"Aku tak melihat apa-apa," kata Baginda.
"Ampun Tuanku, memang angin tidak bisa dilihat, tetapi bila paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu," kata Abu Nawas menjelaskan.

Setelah tutup botol dibuka, Baginda mencium bau busuk.
Bau busuk yang sangat menyengat hidung.
"Bau apa ini, hai Abu Nawas?" tanya Baginda marah.
"Ampun Tuanku yang mulia, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol.
Karena hamba takut, angin yang hamba buang itu keluar.
Maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol," jelas Abu Nawas.

Akan tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal.
Untuk kesekian kalinya Abu Nawas selamat.

repost from: kisah petualang

[kisah] abu nawas, rahasia pikiran manusia



Baginda Raja Harun al Rasyid terlihat murung.
Semua menterinya tidak ada satu pun yang sanggup menemukan jawaban dari 2 pertanyaan Baginda Raja.

Bahkan para penasehat pun merasa tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan Baginda, padahal Baginda sendiri ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya.

Mungkin karena sangat penasaran, para penasehat kerajaan menyarankan agar Abu Nawas saja yang memecahkan 2 teka-teki yang membingungkan itu.

Tidak begitu lamapun Abu Nawas dihadapkan ke Raja.
Baginda mengatakan bahwa akhir-akhir ini beliau sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan mengungkap 2 rahasia alam.

Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka maksudkan?" tanya Abu Nawas.
"Aku memanggilmu untuk menemukan jawaban dari 2 teka-teki yang selama ini menggoda pikiranku." jelas Baginda.
"Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu, wahai Paduka?" tanya Abu Nawas.

"Yang pertama, dimanakah sebenarnya batas jagad raya ciptaan Tuhan kita?" tanya Baginda.
"Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas tanpa ragu.


"Tuanku yang mulia, ketidakterbatasan itu ada karena adanya keterbatasan.
Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia.
Dari itu manusia tidak akan pernah tahu dimana batas jagad raya ini karena sesuatu yang terbatas tentu tidak akan mampu mengukur sesuatu yang tidak terbatas." jelas Abu Nawas.

Baginda Raja mulai tersenyum karena puas dengan penjelasan Abu Nawas yang masuk akal itu.
Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.

"Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya, bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?" tanya Baginda.
"Ikan-ikan di laut." jawab Abu Nawas dengan gesit.

"Bagaimana kamu bisa langsung memutuskan begitu, apakah kamu pernah menghitung jumlah mereka?" tanya Baginda.

"Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah yang besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak seolah-olah tidak pernah berkurang saking banyaknya.
Dan bintang-bintang itu tidak pernah jatuh atau hilang meskipun jumlah mereka juga banyak." jelas Abu Nawas meyakinkan.

Seketika itu juga rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda Raja sirna tak berbekas.
Baginda Raja Haru al Rasyid memberi hadiah kepada Abu Nawas dan istrinya pakaian-pakaian yang indah menawan.

Mari kita ambil hikmahnya dari Kisah Abu Nawas ini sobat, bahwa pikiran kita yang menjadi sebab terjadinya ketidak terbatasan, keangkuhan, sombong serta merasa kurang terhadap apa yang telah diberikan Allah SWT kepada kita.
Syukurilah apa yang telah diberikan Tuhan, maka Insya Allah kita akan diberikan rejeki yang lebih baik dan lebih banyak.

repost from: kisah petualang

[kisah] abu nawas menjual raja



Belum pernah Abu Nawas merasa menyesal dan seputus asa akhir-akhir ini.
Sudah 2 hari dapurnya tidak mengepul asap lagi karena tidak ada lagi barang yang busa dijual.

Sebenarnya Abu Nawas bisa saja menjual salah seorang dari teman-temannya untuk dijadikan budak oleh pembelinya.
Tetapi Abu Nawas tidak tega, apalagi kebanyakan teman-teman Abu Nawas adalah orang-orang yang miskin.
Namun bagaimanapun juga ia harus menjual manusia karena Abu Nawas sudah merasa tidak memiliki sesuatu barangpun yang patut untuk dijual.

Dengan tekat yang amat bulat, Abu Nawas merencanakan menjual Baginda Raja.
Karena menurut Abu Nawas hanya Baginda Raja yang pantas untuk dijual.
Bukankah selama ini Baginda Raja selalu mempermainkan dirinya dan menyengsarakan pikirannya...

Maka sudah sepantasnyalah kalau sekarang ini giliran Abu Nawas menyusahkan Baginda Raja.
Akhirnya Abu Nawas menghadap Baginda Raja dan berkata,
"Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada Paduka yang mulia," kata Abu Nawas memulai.
"Apa itu wahai Abu Nawas?" tanya Baginda langsung penasaran.
"Sesuatu yang hamba yakin belum pernah terlintas dalam benak Paduka yang mulia," kata Abu Nawas meyakinkan.

"Kalau begitu cepatlah ajak aku kesana untuk menyaksikannya," kata Baginda.
"Tetapi Baginda...," lanjut Abu Nawas.
"Tetapi apa?" tanya Baginda tidak sabar.
"Bila Baginda tidak menyamar sebagai rakyat biasa maka pasti nanti orang-orang akan banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu," jelas Abu Nawas.


Karena begitu besar keinginantahuan Baginda Raja, maka Raja bersedia menyamar sebagai rakyat kecil seperti yang diusulkan oleh Abu Nawas.
Kemudian Abu Nawas dan Baginda Raja Harun Al-Rasyid berangkat menuju sebuah hutan.

Setibanya di hutan, Abu Nawas mengajak Baginda Raja mendekati sebuah pohon yang rindang dan memohon Baginda Raja menunggu di situ.
Sementara itu Abu Nawas menemui seorang kenalan yang pekerjaannya menjual budak.
Abu Nawas mengajak pedagang budak itu untuk melihat calon budak yang akan dijual kepadanya dari jarak yang agak jauh.

Abu Nawas beralasan bahwa sebenarnya calon budak itu adalah teman dekatnya.
Maka dari itu Abu Nawas tidak tega menjualnya di depan mata.
Setelah pedagang budak itu memperhatikan dari kejauhan, ia merasa cocok.
Abu Nawas pun membuat surat kuasa yang menyatakan bahwa pedagang budak sekarang mempunyai hak penuh atas diri orang yang sedang duduk di bawah pohon rindang itu.
Setelah itu Abu Nawas pergi begitu menerima beberapa keping uang emas dari pedagang budak itu.

Baginda Raja masih menunggu Abu Nawas di bawah pohon ketika pedagang budak menghampirinya.
Ia belum tahu mengapa Abu Nawas belum juga menampakkan batang hidungnya.
Baginda juga merasa heran kenapa ada orang lain di situ.

"Siapa engkau?" tanya Baginda Raja kepada pedang budak itu.
"Aku adalah tuanmu sekarang," kata pedagang budak agak kasar.
Tentu saja pedagang budak itu tidak mengenali Baginda Raja dalam pakaian yang amat sederhana itu.

"Apa maksud perkataanmu?" tanya Baginda Raja dengan wajah merah padam.
"Abu Nawas telah menjual engkau kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya," kata pedagang budak itu dengan kasar.
"Abu Nawas menjual diriku kepadamu?" kata Baginda dengan murka.
"Ya!" bentak pedagang budak.
"Tahukah engkau siapa aku ini sebenarnya?"
"Tidak dan itu tidak perlu," kata pedagang budak itu dengan ketus.
"Aku adalah Rajamu, Sultan Harun Al-Rasyid," kata Baginda sambil menunjukkan tanda pengenal kerajaan.

Pedagang itu terperanjat dan mulai mengenal Baginda Raja.
Ia pun langsung menjatuhkan diri sembari meyembah Baginda Raja.
Baginda Raja mengampuni pedagang budak itu karena ia memang tidak tahu.
Akan tetapi kepada Abu Nawas, Baginda amat murka dan gemas.
Tetapi kepada Abu Nawas Baginda Raja amat murka dan gemas.
Ingin rasanya beliau meremas-remas tubuh Abu Nawas seperti kertas hehe...

Baginda Raja pulang ke istana dan langsung memerintahkan para prajuritnya untuk menagkap Abu Nawas.
Tetapi Abu Nawas telah raib entah kemana karena ia tahu sedang diburu oleh prajurit kerajaa.
Dan setelah Abu Nawas tahu para prajurit kerajaan sudah meninggalkan rumahnya, barulah ABu Nawas berani pulang.

Abu Nawas mulai menceritakan kepada istrinya apa yang sebenarnya terjadi.
Abu Nawas akhirnya memutuskan untuk mengelabui Baginda dengan cara berpura-pura mati.
Abu Nawas hanya bisa berpesan kepada istrinya apa yang harus dikatakan bila Baginda datang.

Kini kabar kematian Abu Nawas mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri.
Baginda sangat terkejut, marah dan geram sebenarnya.
namun juga merasa kasihan juga mendengar kabar kabar meninggalnya, mengingat Abu Nawas adalah orang yang paling pintar menyenangkan dan menghibur Baginda Raja.

Baginda Raja beserta beberapa pengawalnya menuju rumah Abu Nawas.
Setelah melihat tubuh Abu Nawas terbujur kaku tak berdaya, Baginda Raja merasa terharu dan meneteskan air mata.
Beliau bertanya kepada istrinya.

"Adakah pesan terakhir Abu Nawas untukku?" tanya Baginda.
"Ada Paduka yang mulia," jawab istri Abu Nawas sambil menagis.
"Katakanlah," kata Baginda.
"Suami hamba, Abu Nawas, memohon sudilah kiranya Baginda Raja mengampuni semua kesalahannya di depan rakyat," kata istri Abu Nawas terbata-bata.

"Baiklah kalau itu permintaan terakhir Abu Nawas," kata Baginda menyanggupi.
Kemudian Baginda Raja mengumpilkan rakyatnya di tanah lapang dan berkata,
"Wahai rakyatku, dengarkanlah bahwa hari ini, aku Sultan Harun Al-Rasyid telah memaafkan semua kesalahan Abu Nawas yang telah diperbuat terhadap diriku.
Dan kalianlah sebagai saksinya," Ujar Baginda.

Begitu mendengar pengampunan dari Baginda Raja Harun Al-Rasyid sendiri, Abu Nawas lekas-lekas beranjak dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bginda.

repost from: kisah petualang

[kisah] abu nawas menampar pipi raja



Pada suatu hari, Abu Nawas singgah di rumah kenalannya, seorang Yahudi. Di sana tengah berlangsung permainan musik yang meriah. Banyak orang yang menonton sehingga suasana begitu meriah. Semua tamu yang hadir terlibat dalam permainan musik indah itu, termasuk Abu Nawas yang baru saja masuk.
Ada yang bermain kecapi, ada yang menari-nari dan sebagainya, semuanya bersuka ciata.

Ketika para tamu sudah kehausan, tuan rumah menyuguhkan kopi kepada para hadirin. Masing-maisng mendapat secangkir kopi, termasuk Abu Nawas.
Ketika Abu Nawas hendak meminum kopi itu, ia ditampar oleh si Yahudi. Namun karena sudah terlanjur larut dalam kegembiraan, hal itu tidak ia hiraukan dan diangkatnya lagi cangkirnya, tapi lagi-lagi ditampar.

Ternyata tamparan yang diterima Abu Nawas pada malam itu cukup banyak sampai acara selesai sekitar pukul 2 dini hari.

Pesta Musik dengan Suguhan Secangkir Kopi.
Di tengah jalan, baru terpikir oleh Abu Nawas,
"Jahat benar perangai Yahudi itu, main tampar saja. Kelakuan seperti itu tidak boleh dibiarkan berlangsung di Baghdad. Tapi, apa dayaku hendak melarangnya?" pikirnya dalam hati.
"Ahaa..aku ada akal," guman Abu Nawas selanjutnya.

Keesokan harinya, Abu Nawas menghadap Raja Harun Ar-Rasyid di istana.
"Tuanku, ternyata di negeri ini ada suatu permainan yang belum pernah hamba kenal, sangat aneh," lapor Abu Nawas.
"Di mana tempatnya?" tanya Baginda.
"Di tepi hutan sana Baginda," kata Abu Nawas.
"Mari kita lihat," ajak Baginda.
"Nanti malam kita pergi berdua saja dan Tuanku memakai pakaian santri," ucap Abu Nawas.

Setelah Shalat Isya, maka berangkatlah Baginda dan Abu Nawas ke rumah Yahudi itu.
Ketika sampai di sana, kebetulan si Yahudi sedang asyik bermain musik dengan teman-temannya, maka Baginda pun dipersilahkan duduk.
Ketika diminta untuk menari, Baginda menolak sehingga ia dipaksa dan ditampar pipinya kanan kiri.

Sampai di situ Baginda baru sadar bahwa ia telah dipermainkan oleh Abu Nawas.
Tapi apa daya ia tak mampu melawan orang sebanyak itu.

Maka, menarilah Baginda sampai keringat membasahi sekluruh tubuhnya yang gendut itu. Setelah itu barulah diedarkan kopi kepada semua tamu, dan melihat hal itu, Abu Nawas meminta izin untuk keluar ruangan dengan alasan akan pergi ke kamar mandi untuk kencing.

"Biar Baginda merasakan sendiri peristiwa itu, karena salahnya sendiri tidak pernah mengetahui keadaan rakyatnya dan hanya percaya kepada laporan para menteri," pikir Abu Nawas dalam hati sembari meluncur pulang ke rumahnya.

Raja Ditampar Pipinya Kiri Kanan.
Tatkala hendak mengankat cangkir kopi ke mulutnya, Baginda ditampar oleh si Yahudi itu. Ketika ia hendak mengangkat kopi cangkirnya lagi, ia pun terkena tamparan lagi begitu seterusnya hingga Baginda belum pernah mencicipi barang sedikit saja kopi yang disuguhkan.,

Pada pagi harinya, setelah bangun tidur, Baginda Raja Harun Ar-Rasyid memerintahkan seorang pelayan istana untuk memanggil Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas, baik sekali perbuatanmu tadi malam, engkau biarkan diriku dipermalukan seperti itu," kata Baginda.
"Mohon ampun wahai Baginda Raja, pada malam sebelumnya hamba telah mendapat perlakuan yang sma seperti itu. Apabila hal itu hamba laporkan secara jujur, pasti Baginda tidak akan percaya. Dari itu, hamba bawa Baginda ke sana agar mengetahui dengan kepala sendiri perilaku rakyat yang tidak senonoh itu," jawab Abu Nawas membela diri.

Baginda tidak dapat membantah ucapan Abu Nawas, lalu disuruhnya beberapa pengawal untuk memanggil si Yahudi itu.
"Wahai Yahudi, apa sebabnya engkau menampar aku tadi malam," tanya Baginda marah.
"Wahai Tuanku, sesungguhnya hamba tidak tahu jika malam itu adalah Tuanku. Jika sekiranya hamba tahu, hamba tidak akan berbuat seperti itu," jawab si Yahudi membela diri.

Apa daya, pembelaan Yahudi tidak disetujui oleh Baginda. Karena menampar orang termasuk perbuatan maksiat dan Baginda harus mengambil tindakan tegas karenanya.
"Sekarang terimalah pembalasanku," kata Baginda.
"Ampunilah hamba, Tuanku," ucap si Yahudi.

Segera saja Baginda memerintahkan para prajurit untuk memasukkan si Yahudi ke dalam penjara.
Sejak saat itu Raja Harun amat memperhatikan rakyatnya. Ia berterimakasih atas laporan yang diberikan oleh Abu Nawas tersebut.

repost from: kisah petualang